Kamis, 25 Juni 2015

PENDING EMAS



PENDING EMAS
(Karya Saduran oleh : Kapten Sus Michiko Moningkey)

            Di kalangan generasi muda abad modern ini, masih adakah yang mengetahui kisah gadis Pending Emas? Bahkan mungkin dikalangan wanita militer saat ini, tidak pernah menyadari.
Ada pelaku sejarah yang memperoleh penghargaan khusus dari Presiden Republik Indonesia. Dan pribadi itu adalah seorang wanita yang bernama Harlina (berubah nama menjadi Herlina).
Wanita pertama yang mendarat di Irian Barat. Oleh Presiden RI selaku Panglima Besar Komando Tertinggi Pembebasan Irian Barat, dianugerahkan pending emas seberat setengah kilogram.
            Sebentuk penghargaan atas perjuangannya dalam pembebasan Irian Barat (sekarang Papua Barat) pada tahun 1961. Dan atas perjuangannya itu, kemudian pada 2 Maret 1963 Herlina mengenakan pakaian hijau.
Selanjutnya mengikuti latihan militer sebagai calon Kowad (Korps Wanita TNI Angkatan Darat). Sebab sejak awal keikutsertaannya dalam perjuangan pembebasan Irian Barat, Herlina selalu saja dan tanpa sengaja bertemu dengan militer Indonesia.
Bantuan terbesar diperolehnya dari pihak TNI Angkatan Darat. Herlina adalah salah seorang pejuang yang telah menyumbangkan darma bhaktinya. Sukarelawati yang pertama mendarat di bumi Irian Barat.
            Setelah Panglima Tertinggi Angkatan Perang RI menyerukan Tri Komando Rakyat; Herlina tergerak hati untuk membela Ibu Pertiwi.
Sekalipun ia seorang wanita, Ia memiliki pendirian yang teguh dan terutama memiliki sikap hati untuk memberi. Memberikan seluruh jiwa raganya bagi Indonesia yang ia cinta dan banggakan.
            Demikian pula, wawasan berpikir yang luas, ia miliki. Menurutnya, kesempatan sangat terbuka bagi kaum wanita untuk berkiprah di bidangnya masing-masing.
            Kiprah wanita Indonesia sudah bukan seperti pada zaman Kolonial. Perkembangan kemajuan wanita Indonesia, adalah untuk mengusahakan satu pengertian yang sama.
            Bahwa kaum wanita tidak kalah penting peranannya di dalam masyarakat. Sebab, masyarakat tidak hanya dibentuk oleh kaum pria tetapi juga oleh kaum wanita.
            Idenya adalah untuk maju sesuai tuntutan zaman. Kaum wanita dapat menuntun generasi muda dalam mengutamakan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi.
            Semua bermula saat Herlina menginjakkkan kaki di Ibukota Irian Barat. Yakni di kota Soasiu di pulau Tidore.
Sebelum Irian Barat kembali ke wilayah Indonesia; propinsi Irian Barat telah terbentuk sejak tahun 1956. Dengan ibukota Soasiu di pulau Tidore, disebelah utara kepulauan Maluku.
            Saat itu keadaan ibukota propinsi, jauh sekali dari harapannya. Kenyataan keprihatinan yang ditemuinya di lapangan, mendorong hati nuraninya untuk menerbitkan surat kabar lokal.
            Dengan maksud untuk menyaingi pemberitaan propaganda dari penjajah Kolonialisme. Yang selalu mendeskreditkan pemerintahan Indonesia.
Kemudian berbekal tekad yang sangat kuat, Herlina balik ke kota Jakarta. Dan keluar-masuk kantor Departemen Penerangan Jakarta. Meminta bantuan kertas untuk penerbitan di kota Soasiu.
            Walau di tolak dan dikecilkan artinya oleh pegawai-pegawai Departemen Penerangan, Herlina tidak mundur sekalipun.    
            Menurutnya, semuanya tidak cukup hanya dengan kemauan saja. Cita-cita harus di capai dengan usaha. Tetapi modal utama adalah kemauan. Tanpa adanya kemauan, manusia takkan berusaha.
            Kantornya didirikannya di Ternate, tetapi percetakannya berada di Soasiu. Dari Soasiu ke Ternate harus menggunakan motor boat, kapal bermotor, inipun tidak setiap harinya. Maka biasanya menggunakan perahu nelayan.
            Keseriusannya untuk menerbitkan surat kabar di dorong oleh keinginan untuk menanamkan pengertian. Kepada penduduk di perbatasan tentang kegiatan perjuangan Indonesia.
            Dan Soasiu sangat penting kedudukannya sebab merupakan daerah propinsi perjuangan Irian Barat. Setidaknya, dengan adanya penerangan melalui penerbitan dapat menggugah semangat setiap orang.
            Memang perjuangannya tidaklah mudah. Banyak tantangan yang harus dihadapinya seorang diri. Dia harus berhadapan dengan orang-orang yang apatis tentang ide menerbitkan surat kabar.
            Kesulitan memperoleh bantuan kertas, menempuh perjalanan laut yang sukar, harus ditempuhnya dengan keberanian yang besar. Mengarungi lautan, melawan kelemahan dirinya sebagai wanita.
            Bahkan harus berhadapan dengan sikap antipati dari kaumnya sendiri. Saat berupaya keras menerbitkan koran di kota Soasiu.
            Banyak hal yang datang menimpa dirinya, menurutnya hal itu menjadikannya semakin semangat untuk membuktikan. Bahwa ia mampu mengemban tanggungjawab yang dipercayakan oleh Panglima Mandala kepadanya.
            Tantangan yang terberat adalah bagaimana tetap mengobarkan semangat saat keadaan tidak sesuai harapan.
            Dalam semua situasi yang tidak mengenakkan. Ada saja uluran bantuan datang. Gubernur propinsi yang termuda ini, Kolonel Pemoedji bersedia menghubungi Menteri Penerangan untuk pengadaan kertas.
            Demikian pula, Kodam Hasanuddin telah bersedia berlangganan. Apalagi Kodam XV memberikan pinjaman dana.
            Pernah sekali, ketinggalan perahu motor, saat akan ke Soasiu dari Ternate. Terpaksa naik perahu nelayan, berlayar dua jam mendayung, tiba di Kampung Rum pulau Tidore. Dari pulau Tidore menuju Soasiu.
            Mengalami keadaan basah oleh air laut yang gemericik masuk ke dalam perahu. Menahan lapar seharian. Pakaian kering di badan.
            Dari Kampung Rum menuju Soasiu, jaraknya 24 kilometer. Menyewa sepeda yang hanya satu-satunya di kampung itu. Kemudian menempuh jalan yang naik-turun bukit, panas terik menyengat. Menambah haus dan menahan lapar. Setibanya di Soasiu sudah harus langsung berkutat dengan urusan percetakan.
            Menghadapi boikot pekerja, yang dengan sengaja meninggalkan tempat dengan berbagai alasan. Sehingga koran terancam terlambat terbit.
Padahal semuanya dikerjakannya bukan tujuan keuntungan. Sebab tidak ada keuntungan yang akan mungkin diperoleh dengan situasi dan kondisi masyarakat yang susah saat itu.
Demikian pula, selama penerbitan, telah terbiasa bekerja hingga larut malam. Saat pulang ke rumah, berjalan kaki sendirian. Sebab tidak ingin menimbulkan kesan yang buruk, apabila di antar oleh seorang pria. Keadaan gelap, sepi, hanya ada bunyi jangkrik.
Rumah penduduk berjauhan satu sama lain. Lampu semuanya sudah padam. Jalan sendirian di pinggir hutan, alang-alangnya lebat. Setiap bunyi membangkitkan bulu kuduknya. Pulang larut malam adalah sebuah siksaan tersendiri baginya.
Akhirnya dengan perjuangan yang gigih, Surat Kabar nirlaba di kota Soasiu bisa terbit. Headline ‘Karya’ pun terbit di akhir tahun 1961. Herlina bekerja dengan tidak mengenal lelah. Bekerja setiap harinya dibantu oleh beberapa sukarelawan dengan satu orang kepercayaan.
Kemudian dalam situasi yang makin bergejolak. Makin hebatnya propaganda Belanda, Indonesia juga tidak ketinggalan. Herlina mengkoordinasikan demo menentang terbentuknya Dewan Papua bentukan Kolonial.
Setelah kunjungan Menteri Leimena dan pejabat pemerintah RI lainnya ke Soasiu. Semakin berkobar semangat untuk merebut Irian Barat ke pangkuan Ibu Pertiwi.
Ide sangat banyak bermunculan dipikirannya. Melihat situasi Soasiu yang kurang bersemangat, mendorong Herlina untuk mengadakan pertemuan seni. Atau acara hiburan.
Menjadi Event Organiser (EO) pada saat itu, kembali membuktikan kemampuannya dalam menggerakkan banyak orang.Berbarengan dengan acara hiburan di gelar, Herlina mendirikan Wisma Lina.
Ruang Perpustakaan yang penuh berisi buku-buku bacaan rakyat. Bacaan yang meningkatkan pengetahuan umum. Demikian pula, pada hari-hari tertentu diadakan acara yang meriah.
Multi peran. Herlina setiap harinya berkutat dengan tinta-tinta percetakan. Juga memimpin perpustakaan. Atau sekaligus menjadi tukang antar koran. Selain itu menjadi Ketua Yayasan Kartika Lina yang ia ambil namanya dari lambang TNI AD.
Peristiwa tergelincir jatuh, mengharuskannya untuk beberapa bulan berada di Makasar dan Jakarta. Ia beristirahat dari semua kesibukannya. Bekas sobekan di sebelah kiri matanya tidak sembuh-sembuh. Sehingga mengharuskannya berangkat berobat.
Ternyata keadaan ini dimanfaatkan oleh beberapa orang yang antipati dengan sepak-terjangnya di Soasiu. Dengan menyebarkan berita bohong. Bahwa ia ditangkap sebagai mata-mata Belanda.
Baginya, fitnahan semacam ini hanyalah sebagai seni dalam kehidupan. Dengan tersenyum dihadapinya dengan tegar.
Setelah kegiatan operasi Irian Barat dicanangkan. Seluruh kegiatan operasi dipusatkan kepada Komando Pembebasan Irian Barat “Mandala” berkedudukan di Makassar.
Herlina menganggap adalah penting barisan wartawan atau tim penerangan untuk masuk ke Irian Barat. Bukan hanya personil pasukan militer.
Dari keterangan yang dihimpunnya dia berkeyakinan bahwa penduduk Irian Barat perlu didekati oleh orang-orang yang bukan hanya dari kalangan militer.
Ia memikirkan rencana ini dengan bersungguh-sungguh hati. Setelah itu dengan tekad bulat, berangkatlah ia menuju kota Makassar. Tetapi sebelumnya, pekerjaannya di Soasiu telah didelegasikan kepada stafnya.
Herlina menghadap Panglima Mandala agar mendapatkan ijin untuk masuk ke propinsi Irian Barat. Setelah ijin diberikan, Herlina merasa seperti mendapatkan durian runtuh. Ia sangat gembira dan bersemangat atas kesempatan yang telah diperolehnya.
Selanjutnya dengan berbekal muatan logistik 250 kg, Herlina terbang dengan pesawat C-130 Hercules. Mendarat di lapangan terbang Laha, yang berada jauh dari kota Ambon.
Logistik yang dibawanya menuntutnya untuk dua kali bolak-balik ke lapangan terbang. Mengambil barang-barang lainnya.
Di kota Ambon inilah, pada pertama kalinya Herlina mengalami kecelakaan mobil. Mobil yang ditumpangi terbalik setelah menabrak tiang listrik. Namun, untungnya dia selamat.
Bukan hanya itu saja, ujian keyakinan datang menghampirinya. Pembicaraan alot tentang pantas atau tidaknya ia mengikuti operasi ke Irian Barat, mencuat.
Salah satu Komandan Pos di Irian Barat Mayor Narto, mendatanginya dan bersoal-jawab. Tentang betapa beresikonya membawa serta wanita di tengah-tengah pasukan yang jauh dari keluarganya masing-masing. Dan apalagi telah berbulan-bulan bertugas di medan perang.

Namun, hal itu di tepis olehnya. Pendiriannya teguh. Ia ikut serta dalam operasi pembebasan Irian Barat. Adalah juga untuk menjunjung tinggi nama kaum wanita.
Herlina berargumentasi bahwa apa yang sekarang dia lakukan akan memiliki dampak luas bagi kaumnya. Sebab ia tidak hanya mewakili dirinya sendiri. Tetapi seluruh kaum wanita.
Akhirnya, kata sepakat diperoleh. Komandan Pos tidak meragukan moral pasukannya dan pula tidak meragukan kemampuan Herlina.
Ia berangkat ke Irian Barat. Membawa perlengkapan pribadi seadanya, dan terutama kertas untuk menulis pemberitaan.
Bersama-sama sekelompok pejuang RI, ia berlabuh di dekat pulau terpencil, Pulau Gebe, mendarat dengan sebuah perahu. Pulau Gebe ditempati oleh pasukan kawan. Laut Gebe terkenal ganas, sehingga lalu lintas sangatlah terbatas.
Di pulau terpencil inilah, Herlina dengan sabar menggugah hati para Ibu-ibu dan kaum muda. Bagaimana arti kebersihan lingkungan dan pribadi.
Lambat laun penerimaan akan dirinya berlangsung dengan alami dan hangat. Dengan idenya, terlaksanalah malam hiburan di kampung pulau Gebe. Untuk membangkitkan semangat perjuangan. Dan hal ini menambah kasih sayang penduduk kepada Herlina.
Ia memberikan penerangan-penerangan tentang bagaimana hidup bermasyarakat dan bernegara. Tidak dengan pidato yang panjang. Tetapi dengan pergaulan yang intens. Bercerita secara langsung dalam satu kelompok kepada kelompok lainnya. Menggunakan bahasa yang sederhana dan mudah dimengerti.
Kemudian dengan bantuan nelayan-nelayan yang handal dari pulau Gebe, ia dan beberapa pejuang dapat menembus lautan yang ganas. Menuju pulau Kawe.
Susah senang dialami bersama. Perahu didorong di atas pasir untuk disembunyikan dari pemandangan musuh. Kemudian rombongan beristirahat beratapkan langit, beralaskan pasir. Mulai saat itu, makanan dihemat secara luar-biasa.
Dengan kompak, rombongan Herlina menembus batas garis musuh. Banyak kali kapal laut Belanda berpatroli di perairan Irian Barat. Mereka harus bisa mengatasi ancaman kematian dari laut yang ganas dan batu karang pula. Juga dari intaian kapal musuh yang canggih.
Kemudian, pertempuran tidak terelakkan, terjadi di pulau Waigeo. Walaupun kalah dalam segi jumlah tetapi diuntungkan oleh sikon alam. Keadaan teluk yang penuh dengan batu karang, membuat Belanda tidak berani ambil resiko untuk memasuki Teluk Arago.
Di kepulauan inilah, Herlina bersembunyi dan berusaha menghindari patroli kapal musuh yang hilir-mudik. Kemudian masuk ke dalam hutan dan mengalami kekurangan asupan makanan.
Demikian pula, perairan pulau Raja Ampat sangat berbahaya untuk diarungi sebab musuh mengintai.
Sepanjang perjalanan menembus Irian Barat, senjata Herlina hanyalah mesin stensil, kertas dan radio kecil. Dari radio PHB inilah, kelompok pejuang ini dapat mengambil keputusan untuk mulai bergerak atau tidak.
Dari mesin stensil ini pulalah Herlina dapat menerbitkan “Cenderawasih” dari tengah hutan. Ia juga mengadakan pendekatan dengan penduduk.
Kemudian akhirnya melalui radio, dikabarkan bahwa pada 18 Agustus 1962 telah ditandatangani persetujuan penghentian tembak-menembak antara pejuang RI dan pasukan Belanda.
Secara perlahan pasukan pejuang mulai turun-gunung. Herlina dan teman-temannya ke kampung Lam-lam, tidak jauh jaraknya dari pulau Waigeo.
Dari keterangan penduduk dapat diketahui bahwa Belanda telah menyerah. Hal ini sebagai tanda Herlina kembali ke tengah kota.
Banyak orang menjadi keheranan setelah melihat dirinya keluar dari hutan. Mereka tidak pernah menyangka ada pasukan yang memiliki pejuang wanitanya. Sendirian pula.
Bahkan utusan PBB (UNTEA) juga sangat heran setelah mengetahui ada satu-satunya wanita di antara pejuang RI. Heran, bahwa pasukan pejuang di dalam hutan bisa bersama-sama wanita.
Di kota Sorong dan kemudian di kota Baru-lah, Herlina menjadi inspirator bagi penduduk lokal. Ia kemudian menjalani misinya untuk menarik hati penduduk lokal. Membuka pengertian mereka tentang artinya negara Indonesia.
Kembali lagi Herlina menjadi seorang EO yang handal. Berbagai kegiatan yang bersifat mengumpulkan massa dikerjakan olehnya.
Sambil menyampaikan kebenaran tentang Indonesia Raya, untuk menggugah rasa nasionalisme masyarakat lokal.
Demikianlah yang dikerjakan Herlina, sehingga Sumpah Pemuda diikrarkan oleh pemuda-pemudi Irian. Ini menjadi bagian penting dari sejarah. Ikrar ini sebagai tanda jelas kembalinya Irian Barat ke pangkuan Ibu Pertiwi.
Namun diatas semuanya ini, Herlina mengakui semua perjuangannya dapat terjadi, karena mendapatkan dukungan dari rakyat Irian Barat. Ia juga aktif dalam penyelenggaraan berdirinya Universitas Cenderawasih di Kota Baru. Menjadi ketua penyelenggara pameran buku di Kota Baru selama tiga hari berturut-turut.
Akhir dari semuanya, 13 Februari 1963, Herlina turut menyaksikan apel besar sukarelawan Irian Barat di Istana Negara. Herlina tidak kuasa menahan haru, ia meneteskan air-mata. Membayangkan pedih-manisnya perjuangan di Irian Barat.
Presiden Soekarno kemudian menyematkan Bintang Dharma Bhakti di dada sebelah kirinya. Selanjutnya pending (ikat pinggang) yang terbuat dari emas, dikalungkan di lehernya.

Herlina kemudian menyerahkan kembali emas setengah kilogram ini kepada Presiden Soekarno. Sebab ia mengingat pejuang-pejuang lainnya yang telah cacat dan telah berjuang bersama-sama.
Bukan hanya itu saja, Herlina sangat beruntung sebab menerima panggilan mengikuti pendidikan latihan Kowad. Sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Pangad.
Seiring dengan terbitnya buku karangannya sendiri. Dengan judul Pending Emas. Namanya kemudian berubah, yang semula J. Harlina menjadi J. Herlina.***(Disadur oleh: Kapten Sus Michiko; sekarang menjabat sebagai Kasubsi Pustak Dinas Penerangan TNI AU; 
           

SEJARAH PANGKALAN TNI AU DUMATUBUN DI TUAL MALUKU TENGGARA




SEJARAH PANGKALAN TNI AU DUMATUBUN
DI TUAL MALUKU TENGGARA
(Disadur dari buku: Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan
Pangkalan TNI AU Dominicus Dumatubun)


Perang Dunia II membuktikan kekuatan pasukan Jepang yang telah menyapu bersih wilayah pasifik. Satu persatu wilayah Asia Tenggara dikuasai oleh Jepang. Pada 12 Juli 1942 pasukan Jepang mendarat di pulau Dullah dan pulau Kei Kecil yang berada di kawasan Tenggara Maluku.

Menurut perkiraan intelijen Jepang, kedua pulau ini bernilai strategis bagi kepentingan perang negeri Matahari Terbit. Sehingga, pembangunan landasan udara secara cepat dilakukan dengan mengerahkan tenaga Romusha, yakni tenaga rakyat setempat.

Ambisius bangsa Jepang untuk menguasai dunia telah melahirkan beberapa lapangan terbang yang tersebar di kepulauan Kei. Yaitu, lapangan terbang yang terletak di antara desa Langgur dan desa Kolser di pulau Kei Kecil. Kedua, lapangan terbang di desa Faan di pulau Kei Kecil. Ketiga, lapangan terbang Letfuan, terletak di antara desa Letfuan dan desa Ngabub di pulau Kei Kecil. Keempat adalah lapangan terbang yang terletak di pulau Dullah Laut.


Pembangunan lapangan terbang ini telah membuktikan kekuatan dan kemampuan pesawat terbang di dalam memenangkan pertempuran apapun, baik di laut maupun di daratan.

Namun, peristiwa pembalasan yang dilancarkan oleh Sekutu yang dimotori oleh Amerika Serikat telah melumpuhkan Jepang. Perlahan namun pasti, keadaan mulai berubah. Dimana-mana tempat, Jepang mengalami kekalahan yang memalukan. Terutama dengan adanya pemboman secara besar-besaran melalui udara oleh pesawat pembom Amerika, sehingga Jepang bertekuk-lutut dan menyerah.

Peristiwa kekalahan ini didengar dan disambut secara luar-biasa oleh pemuda pejuang Indonesia. Perjuangan Indonesia untuk merdeka dan lepas dari penjajahan bangsa asing seperti memperoleh siraman minyak. Seluruh wilayah Indonesia bersatu-padu untuk menyatukan tekad kemerdekaan Indonesia. Pada 17 Agustus 1945, Indonesia menyatakan kemerdekaannya dan Jepang angkat kaki dari seluruh wilayah Indonesia.

Setahun kemudian Angkatan Udara Republik Indonesia dikukuhkan pada 9 April 1946, dan pangkalan udara yang tetap aktif digunakan di propinsi Maluku adalah Pangkalan Udara Laha yang terletak di kota Ambon.

Sejarah terus bergulir dan perkembangan Pangkalan TNI AU Dumatubun ini dibagi dalam beberapa era. Periode tahun 1951 sampai dengan 1955, adalah awal berdirinya Perwakilan Kesatuan Penghubung Udara Langgur. Serta periode 1955 sampai dengan 1959, masa pembangunan selanjutnya.

Menurut catatan sejarah, pada akhir tahun 1951, yaitu pada bulan Desember. AURI mengadakan kunjungan kerja ke Maluku Tenggara. Dalam hal ini diwakili oleh Kapten Udara Noerzain dari Jakarta. Bertemu dengan pemerintah daerah setempat untuk menjajaki kemungkinan ditempatkannya perwakilan AURI di kabupaten Maluku Tenggara.

Kepala Desa Langgur sangat kooperatif, koordinasi lebih lanjut diadakan. Kemudian dilakukan peninjauan ke semua lapangan terbang bekas pendudukan Jepang, yang berada di kepulauan Kei Kecil.

Lapangan terbang yang terletak di antara desa Langgur dan desa Kolser menjadi pilihan, dengan mempertimbangkan jarak yang terbentang antara kota Tual dan desa Langgur, yang hanya berjarak 3,5 Km. Hal ini dikuatkan oleh hasil wawancara dengan Nico Dumatubun.

Hasil peninjauan ini ditindaklanjuti oleh pimpinan AURI dengan memperbaiki dan memfasilitasi lapangan terbang yang bernilai sejarah tinggi ini. Segera pada Januari 1952, sebulan setelah itu, pimpinan AURI berkoordinasi dengan pimpinan Angkatan Darat, maka perlengkapan berat milik Zeni Angkatan Darat mulai bekerja di Tual.

Saat perbaikan, Kapolri yang saat itu dijabat oleh Kombes Polisi Drs. Sukamto, mengadakan kunjungan ke kota Tual. Rencananya pesawat Catalina yang ditumpanginya akan mendarat di laut, namun ketangguhan dan kesiapan lapangan udara ini telah memungkinkan pesawat mendarat di jalur landasannya.
Dapat dibayangkan betapa bernilainya lapangan terbang ini, sebab telah mengorbankan begitu banyak nyawa anak negeri sendiri. Pekerjaan pembangunan ini tentunya tidak semudah dikira orang. Penjajahan Jepang di bumi Indonesia walaupun singkat tetapi menggoreskan luka yang sangat dalam.

Pengerahan tenaga manusia tanpa kompromi, besar-kecil, tua-muda, untuk memenuhi ambisi bangsa Jepang. Sebab itu, lapangan udara ini menjadi aset yang tak terhingga bagi masyarakat Maluku Tenggara. Ada banyak darah, air-mata yang telah tertumpah di lapangan udara ini.

Setelah selesai dibangun, maka secara geografis 05.40’ LS dan 132.43’ BT (05.40 S – 132.43 E) ditetapkan sebagai titik koordinat lapangan udara Langgur di Pulau Kei Kecil. Panjang landasan pacu dari Timur ke Barat 1500 meter. Lebar dari Utara ke Selatan 30 meter. Dengan bahu landasan (shoulder) 60 meter ke sisi utara dan selatan landasan pacu.

Selesai pembangunan pada Maret 1952, ditetapkan lapangan terbang Langgur dibawah pengawasan Perwakilan Kesatuan Penghubung Udara Langgur yang dipimpin oleh Letnan Muda Udara II (LMUII) Sukardi. Perwakilan Kesatuan Penghubung Udara selanjutnya mengalami perubahan menjadi Detasemen Angkatan Udara Langgur.

Selanjutnya, pada Juli 1954 Kasau Laksamana Muda Udara S. Surjadarma mendarat di Langgur dengan pesawat C-47 Dakota yang dikawal oleh pesawat pembom B-25 dalam rangka inspeksi ke lapangan terbang di wilayah Maluku. Inspeksi ini menghasilkan laporan yang memuaskan, bahwa landasan peninggalan pendudukan Jepang dapat didarati oleh pesawat berbadan besar.

Selain itu, Kepala Perwakilan Kesatuan Penghubung Udara Langgur mengalami beberapa pergantian pejabat. Demikian pula adanya perubahan sebutan Kesatuan Penghubung Udara Langgur menjadi Detasemen Angkatan Udara Langgur dibawah pimpinan LMU II J.N Annakotta pada tahun 1957.

Peristiwa Trikora menjadikan lapangan terbang yang berada di Kepulauan Kei Kecil Maluku Tenggara, menjadi sangat strategis. Berdasarkan kebijakan Presiden Soekarno, dilakukanlah mobilisasi secara umum untuk mengembalikan Irian Barat ke pangkuan NKRI. Sebab itu, AURI berunding dengan Pemangku Adat Negeri Letfuan untuk mengaktifkan kembali lapangan udara Letfuan, yang berjarak delapan belas kilometer dari Detasemen Angkatan Udara Langgur.

Lapangan terbang Letfuan mengandung cerita antik yang bersejarah. Sebab dengan adanya peristiwa Trikora, masyarakat di Kepulauan Kei Kecil sebanyak tiga ribu orang, bersama-sama (istilah bahasa daerah setempat: maren, yang artinya bergotong-royong) membuka kembali lapangan terbang yang telah empat belas tahun menjadi lahan yang ditutupi oleh semak duri yang tebal dan menutupi semua area lapangan udara.

Lapangan terbang Letfuan ini berjarak delapan belas kilometer dari Detasemen Angkatan Udara Langgur. Jadi, Detasemen Angkatan Udara Letfuan baru dibuka dan diperbaiki pada tahun 1959 dan mulai beroperasi kembali dua tahun berikutnya. Pada 1963 Menpangau Laksamana Muda Udara Omar Dani, menetapkan Pangkalan Detasemen Angkatan Udara Langgur/ Letfuan berada di bawah pengawasan Komando Regional Udara (KORUD) IV. Namun saat ini dibawah kendali operasi Komando Operasi TNI Angkatan Udara (KOOPSAU) II, yang berkedudukan di Makassar.

Seperti yang telah diungkapkan bahwa lapangan terbang Langgur dan Letfuan mengandung cerita suka-duka yang menarik untuk disimak. Sejarah pembangunannya yang diawali dengan romusha tentu saja memiliki kisah-kisah menarik yang dituturkan dari generasi ke generasi.

Selanjutnya, lapangan udara ini menjadi sedemikian sibuk dan penting sebab adanya upaya pemerintah Indonesia yang masih muda belia, bertekad mengembalikan Papua Barat ke pangkuan Ibu Pertiwi.

Kembali, masyarakat Kepulauan Kei Kecil merasakan suatu kehormatan dapat menjadi ujung tombak perjuangan bangsa Indonesia di wilayah timur Indonesia. Masyarakat Kepulauan Kei Kecil merasa senasib sepenanggungan dengan keluarganya yang ada di Papua. Sama-sama merindukan kemerdekaan dan kebebasan menentukan nasib hidupnya sendiri dan tidak sudi hidup lagi dibawah penjajahan bangsa asing.

Lapangan udara Langgur dan Letfuan merupakan saksi sejarah bagaimana masyarakat pulau Kei Kecil berjuang. Dan penempatan berbagai jenis pesawat di lapangan udara Langgur/ Letfuan merupakan kebijakan strategis pimpinan AURI sebagai kesiapsiagaan menghadapi konflik. Seperti, pesawat pemburu P-51 Mustang, pesawat pembom B-25, pesawat Amphibi PBY-Catalina dan UF-Albatros. Semuanya saat ini menjadi museum dan saksi sejarah yang ril tentang ketangguhan TNI AU pada masa awal kemerdekaan Indonesia.

Dengan adanya pengoperasian kembali lapangan terbang ini, maka diadakanlah perpanjangan landasan pacu yang selesai pada tahun 1962. Tidak hanya sampai disini, selanjutnya AURI menempatkan radar yang berfungsi sebagai GCI dan EWS.

Sebagai ‘Daerah Depan’ Lapangan Terbang Letfuan dan Langgur telah mensukseskan beberapa operasi penting yaitu operasi Trikora, Operasi Jatayu, dan Operasi Jayawijaya.

Sebelum operasi Jayawijaya dilaksanakan, Presiden Soekarno mengeluarkan perintah penghentian tembak-menembak dan permusuhan pada 16 Agustus 1962. Melalui meja perundingan, akhirnya kekuasaan Papua Barat diserahkan oleh Pemerintah Sementara UNTEA kepada pemerintah Republik Indonesia pada 1 Mei 1963.

Wilayah Papua Barat resmi kembali ke Negara Kesatuan Republik Indonesia, dengan demikian berakhir pulalah operasi Trikora. Selanjutnya pasukan dan pesawat militer AURI secara bertahap kembali ke home base masing-masing.

Demikianlah, terukir sejarah yang hebat tentang lapangan terbang Langgur/ Letfuan. Sejak berdirinya Kabupaten Maluku Tenggara tahun 1951, sejarah telah mencatat Letnan Dua Dominicus Dumatubun merupakan satu-satunya putera daerah Maluku Tenggara yang berhasil menjadi Penerbang lulusan AAU. Walaupun akhirnya gugur sebagai kusuma bangsa sebab meninggal saat melaksanakan tugas terbang malam pada tahun 1960.

Tahun 1969 ada permintaan resmi dari DPRD Kab. Maluku Tenggara untuk penggunaan nama Dominicus Dumatubun sebagai nama Pangkalan Angkatan Udara Letfuan/ Langgur. Hal ini ditindaklanjuti dengan adanya keputusan penetapan perubahan nama Pangkalan Udara Letfuan menjadi Pangkalan Udara Dominicus Dumatubun.

Dewasa ini, Pangkalan TNI AU Dumatubun memiliki ukuran landasan pacu 1.300 x 30 meter. Rencananya akan diperlebar dan memiliki permukaan beton untuk didarati oleh pesawat berbadan lebar.