KISAH
HEROIK PETERJUN DI KALIMANTAN
Disadur dari buku: Sejarah Penerjunan
Pasukan Payung di Kalimantan
Tanggal 17 Oktober 1947 (Oleh Dispenau
@2007)
Jika
mengarahkan pandangan ke arah langit nan biru yang ditaburi payung
berwarna-warni dari para Peterjun, kita akan sedemikian terpesona. Tidak pernah
terbayangkan bagaimana menantangnya kegiatan ini. Apalagi saat terjun di
wilayah yang menunggu dengan cabang-cabang pohon yang kekar. Serta tidak tahu
pasti apa yang menanti dibawah sana, dalam keadaan gelap-gulita. Disaat perang
berkecamuk, ancaman kematian sudah menanti.
Ada
kutipan ungkapan dari Shakespeare: “Cowards
die many times before theirs deaths. The valiant never taste death but once”.
Orang-orang penakut merasakan kematian berkali-kali sebelum kematian yang
sebenarnya. Orang yang pemberani tidak pernah merasakannya kecuali hanya sekali
yaitu pada waktu ia mengalami kematian.
Peristiwa
penerjunan pasukan pada tanggal 17 Oktober 1947 di daerah Kalimantan, pulau
harapan yang sangat penting dalam upaya mencapai cita-cita adil dan makmur
Indonesia Merdeka, merupakan bukti perjuangan para pelopor Penerjun Payung.
Secara resmi hari dan tanggal tersebut telah dijadikan hari jadi Komando
Pasukan Gerak Tjepat/ Kopasgat AURI. Cikal-bakal Pasukan Khas Angkatan Udara
(Paskhasau).
Pendaratan
yang jauh dari yang diharapkan. Mereka mendarat di tengah hutan belukar dengan
pepohonan yang tingginya hampir 40 meter dan memiliki batang pohon yang
berdiameter 3 meter. Sehingga semuanya tersangkut di rimbunan daun-daunan pohon
“Empas”. Hanya dengan cara menggunakan tali parasut yang disambung-sambungkan
maka pasukan peterjun ini dapat mencapai bagian pangkal pohon, dan kemudian
menjejakkan kakinya ke tanah.
Namun,
masih ada yang jauh lebih parah daripada mendarat di pohon raksasa. Bachri
mendarat tepat masuk di sela-sela rimbunan pohon bambu. Badannya terjepit
diantara tiga batang pohon bagaikan ikan yang masuk perangkap bambu. Tidak
terbayangkan sakitnya, sangat menyiksa.
Anggota-anggota
peterjun ini mendarat disebuah kampung Sambi namanya. Kampung ini letaknya di
tengah-tengah hutan dan hampir tidak memiliki hubungan dengan dunia luar. Kampung
inilah yang terlihat dari pesawat dengan ladangnya yang mempunyai
tonggak-tonggak besar bekas tebangan pohon dan beberapa buah rumah panggung
dicelah-celah hutan yang membentang luas. Penduduknya terdiri dari 12 kepala
keluarga, berdiam di beberapa rumah yang didirikan di atas tiang-tiang setinggi
dua sampai empat meter. Kampung ini termasuk Suku Dayak Arut.
Sore
itu sebanyak 11 orang dari 13 peterjun dapat berkumpul dalam keadaan selamat.
Sangat membanggakan, sebab ini pengalaman pertama dalam melakukan penerjunan.
Keesokan harinya jumlah keseluruhan 13 prajurit lengkap setelah bergabungnya
dua orang terakhir. Kemudian dengan gerak cepat logistik dikumpulkan. Sayangnya
hanya beberapa perlengkapan yang ditemukan sebab semuanya jatuh di hutan rimba
yang belum pernah dimasuki oleh manusia.
Sebelumnya, saat persiapan
penerjunan sampai dengan dilaksanakannya misi ini. Ada beberapa peristiwa
penting yang perlu dicermati. Perang Dunia ke-II menjadikan pulau terbesar ketiga
didunia ini menjadi aset yang sangat penting dalam memenangkan peperangan.
Dengan menguasai pulau yang terletak di sebelah utara Pulau Jawa dan di sebelah
Barat Pulau Sulawesi ini, maka Jepang maupun Sekutu berikhtiar menguasai
seluruh Kepulauan Indonesia. Pulau Borneo, nama yang dipakai oleh kolonial
Inggris dan Belanda, dengan luas 743.330 Km2 menjadi sumber logistik untuk
membiayai perang. Tidak heran Jepang maupun Sekutu berlomba-lomba untuk
menguasai pulau Borneo. Proklamasi
17 Agustus 1945 menjadi tonggak bersejarah bagi bangsa Indonesia, namun berita
menggembirakan ini hanya sayup-sayup sampai di telinga masyarakat Kalimantan.
Hal ini tidaklah mengherankan sebab Jepang telah menyita semua alat komunikasi
seperti radio. Pada tanggal 10 Oktober 1945 diresmikkan berdirinya Pemerintah
Republik Indonesia Daerah dengan ibukotanya Banjarmasin oleh ribuan rakyat
Kalimantan sendiri.
Namun, Sekutu tidak mau mengakui
keberadaan pemerintah Republik Indonesia. Walaupun RI telah memproklamasikan
kemerdekaannya. Bahkan tidak ingin melihat Sang Merah Putih berkibar. Ini
sesuai dengan niat tentara Belanda yang diboncengi NICA untuk menguasai kembali
Indonesia, demikian pula ingin menduduki Kalimantan yang kaya dengan sumber
daya alamnya. Namun, rakyat melakukan perlawanan yang sengit, dikirimlah
ekspedisi-ekspedisi dari Jawa untuk merebut kembali Kalimantan dari cengkraman
penjajah Belanda yang semakin bercokol di pulau ‘Paru-paru Dunia’ ini.
Kebanyakan dari ekspedisi ini
mengalami kegagalan karena tidak adanya kesatuan komando, juga disebabkan oleh
adanya blokade laut yang dilakukan Belanda untuk menghambat infiltrasi pejuang
Indonesia yang berasal dari daerah lain masuk ke wilayah Kalimantan. Blokade
ini menghambat komunikasi dengan para pejuang yang berada di Kalimantan.
Adanya surat Gubernur Kalimantan
kepada KSAU, telah menjawab kegagalan infiltrasi selama ini. Demikian Ir.
Pangeran Mohammad Noor yang mendapat dukungan moral dari seluruh masyarakat
suku Dayak, mengirim surat kepada Kepala Staf Angkatan Udara Republik Indonesia
yakni Komodor Udara Suryadi Suryadarma. Berniat untuk menerjunkan pasukan
payung di belantara Kalimantan. Isi surat antara lain: “...untuk usaha-usaha merebut Kalimantan menjadi daerah Republik
Indonesia. Disamping usaha lain yang kini dijalankan, dipandang perlu memulai
pasukan payung mengirim pemuda-pemuda yang berasal dari Kalimantan ke
Kalimantan....”.
Permintaan Ir. Pangeran Mohammad
Noor dilanjutkan dengan pembicaraan serius dan akhirnya diputuskan untuk
membentuk Staf Khusus untuk pasukan payung Republik Indonesia dibawah Komando
Panglima Angkatan Udara. Berdasarkan perintah harian Panglima Besar Jenderal
Soedirman Nomor:232/PB/47/I, maka Komodor Udara Suryadi Suryadarma segera
melakukan persiapan untuk menerjunkan pasukan payung ke Kotawaringin Kalimantan
Tengah.
Disamping itu diangkat pula Mayor
Tjilik Riwut yang asli Kalimantan sebagai Komando Pasukan dan duduk dalam staf
sekretaris bagian siasat perang KSAU. Mayor yang lahir dan dibesarkan di
Kalimantan ini telah berhasil membentuk kantong-kantong perlawanan di
Kalimantan Selatan.
Persiapan di Pangkalan Udara Maguwo,
pelatihan bagi para pemuda yang akan diterjunkan di Kalimantan. Digembleng ada
60 putra Kalimantan, 12 orang dari Sulawesi dan beberapa orang lagi dari Jawa,
Madura dan daerah lain. Dilatih oleh Opsir Udara I Sudjono. Hanya berbekal
peralatan sederhana, serba darurat, dilatih di darat saja (ground training). Parasut yang digunakan untuk latihan terjun
adalah parasut bekas serdadu Jepang. Latihan hanya dalam waktu sepekan, membuat
Tjilik Riwut kuatir.
Dalam pelatihan hanya menerima
teori-teori dan bagaimana cara tepat meloncat dari pesawat saat penerjunan.
Bagaimana melipat parasut dan dilatih pula terjun bebas dari menara. Tanpa rasa
takut para peserta latihan satu per-satu naik ke menara, kemudian menloncat
bergantian menggunakan alat yang terbuat dari kain blacu. Setelah latihan
dilakukan seleksi, yang terpilih semuanya adalah putra daerah kalimantan.
Mereka adalah Iskandar dan Dachlan putra daerah Sampit; J. Bitak dari Kelapa
Baru; C. Willems dari Kuala Kapuas; J. Darius dari Kasungan; Achmad Kosasih
dari Makuhulu; Bachri dari Barabai; Ali Akbar dan Djarni dari Balikpapan; M.
Amiruddin dan Emanuel dari Kahajanhulu; serta Morawi dari Rataupulut. Semuanya
menguasai bahasa daerah Dayak Kahajan dengan mahir disamping keterampilan
lainnya.
Misi penerjunan ini adalah untuk
membawa alat pemancar (Z/O) yang besar dan lengkap dengan motor dan bahan bakar
untuk penggunaan setahun. Selaku pemancar induk sehingga akan berkomunikasi
dengan pemancar induk yang ada di Sumatera dan Jawa juga pemancar-pemancar
kecil di Kalimantan. Diharapkan ini merupakan dinamisator perjuangan di
Kalimantan dikoordinasikan dengan perjuangan di Jawa dan Sumatera. Perjuangan
ini pada dasarnya untuk memperkuat perjuangan dan untuk membentuk jaringan
perjuangan yang terbesar di Kalimantan.
Pada tanggal 16 Oktober 1947, pukul
23.00 WIB awak pesawat Dakota C-47 meninggalkan Hotel Tugu menuju Pangkalan
Udara Maguwo untuk bersiap melaksanakan operasi. Meskipun rasa kantuk masih
bergelayut namun mereka harus cepat tiba di pangkalan udara untuk melakukan
pengecekan terakhir.
Pukul 01.30 WIB tanggal 17 Oktober
1947 pesawat udara telah siap, terdengar amanat KSAU Komodor Udara Suryadi
Suryadarma, memberikan petunjuk dan menutup amanatnya dengan sebuah ucapan
“Selamat Jalan dan selamat berjuang!”.
Pesawat C-47 Dakota RI-002
diterbangkan oleh pemiliknya yang berkebangsaan Amerika yakni Robert Earl
Freberg. Bertugas sebagai Co-Pilot Opsir Udara III Makmur Suhodo, penunjuk arah
Mayor Tjilik Riwut, dan Jumping Master Opsir Muda Udara III Amir Hamzah.
Take-off dari Lapangan Terbang Maguwo Yogyakarta tepat pukul 02.30 WIB, lalu
membelok ke utara terus menuju ke “Heading”
31 derajat.
Suasana dalam pesawat hening,
semuanya mengikuti alur pikirannya masing-masing. Pagi pukul 05.30, fajar
menyingsing, pesawat semakin terbang rendah. Pada pukul 07.00 pesawat telah
melayang-layang di atas deretan bukit-bukit, terlihat ladang dan beberapa buah
rumah.
Ketika bel berbunyi tiga kali dan
lampu merah di dekat pintu mulai menyala Jumping Master Amir hamzah berdiri dan
memberi instruksi serta memeriksa peterjun satu demi satu. Kemudian ia berdiri
di depan pintu untuk melihat sejenak ke bawah. Pesawat memutar satu kali untuk
memeriksa keadaan serta arah angin. Setelah posisi cukup baik, isyarat dengan
bel dua kali , isyarat untuk berbaris di depan pintu yang sudah dalam keadaan
terbuka. Bel ketiga kali berbunyi berarti dropping dan jumping di mulai.
Pertama kali keluar adalah logistik, kemudian disusul oleh J. Bitak sebagai
orang pertama terjun dan bertugas mengawal bendera Sang Merah Putih.
Setelah itu bergantian drooping
perlengkapan. Dachlan terkait di pintu sehingga sulit untuk meloncat keluar
badan pesawat. Untung saja, dapat segera diketahui dan ditolong, sehingga dapat
terjun dengan selamat. Djarni mengalami shock berat sehingga tidak jadi terjun.
Wajahnya pucat seputih kapas, tubuhnya gemetar dan keringat dingin mengucur
deras. Dengan pertimbangan yang bijak, Djarni tidak jadi diterjunkan.
Tujuan utama dilaksanakannya operasi
penerjunan pasukan payung di Kotawaringin Kalimantan ini adalah untuk menjalin
hubungan komunikasi radio antara Kalimantan dan Yogyakarta sebagai Ibukota
Negara Indonesia. Di dalam perjuangan merebut kemerdekaan Indonesia.
Namun, misi pengiriman pasukan
payung ini diketahui oleh pihak penjajah Belanda. Mereka disergap, diserang dan
ditangkap; sehingga misi penyusupan ini gagal. Namun, peristiwa ini membawa
dampak yang sangat besar bagi pihak musuh dan juga bagi para pejuang itu
sendiri.
Penyusupan pasukan payung ini
menjadi bukti yang kuat bahwa perjuangan rakyat Indonesia untuk lepas dari
penjajahan bangsa asing tetaplah nyata. Walaupun merupakan suatu hal yang
mustahil, namun penerjunan ini telah membuka mata dunia Internasional, bahwa
Indonesia ada dan berdaulat, dan Kalimantan adalah bagian yang terintegrasi
dengan Indonesia. Bagi para pejuang, hal ini merupakan dorongan moril untuk
tetap berjuang mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Perjuangan dan kesediaan mereka
untuk berkorban jiwa dan raga merupakan nilai-nilai kejuangan yang patut
diteladani oleh generasi muda sekarang ini. Para pelopor penerjun payung sama
sekali tidak mempedulikan akan peralatan yang sangat sederhana. Bahaya tidak
dihiraukan oleh mereka, untuk membebaskan Kampung Halaman-nya dari Belanda yang
ingin kembali bercokol.
Dalam serba penuh keterbatasan,
hanya latihan di darat, mereka bertekad untuk terjun dari udara dengan
menggunakan pesawat terbang yang usianya se-uzur keadaan payung yang digunakan.
Caranya pun jauh dari standar keselamatan, sangat sederhana, hanya dengan
meloncat keluar dari kokpit pesawat yang memang sudah terbuka. Bahkan ada yang
harus merayap dulu baru meloncat dan mengembangkan payung. Namun apa yang
terjadi pada tanggal 17 Oktober 1947 ini menjadi sejarah operasi penerjunan
pasukan dari udara untuk pertama kali di Indonesia dan yang paling lengkap,
sebab diikuti dengan dropping
logistik.
Kisah penerjunan 17 Oktober 1947
adalah gambaran nyata kebesaran jiwa Putra Bangsa, dengan sinar kebesaran jiwa
proklamasi yang menyala di dada para pelopor perjuangan bangsa. Old Soldier Never Dies, Les Fade Away....(Capt.Michiko)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar