Kamis, 25 Juni 2015

KISAH HEROIK PETERJUN DI KALIMANTAN



KISAH HEROIK PETERJUN DI KALIMANTAN
Disadur dari buku: Sejarah Penerjunan Pasukan Payung di Kalimantan
Tanggal 17 Oktober 1947 (Oleh Dispenau @2007)


            Jika mengarahkan pandangan ke arah langit nan biru yang ditaburi payung berwarna-warni dari para Peterjun, kita akan sedemikian terpesona. Tidak pernah terbayangkan bagaimana menantangnya kegiatan ini. Apalagi saat terjun di wilayah yang menunggu dengan cabang-cabang pohon yang kekar. Serta tidak tahu pasti apa yang menanti dibawah sana, dalam keadaan gelap-gulita. Disaat perang berkecamuk, ancaman kematian sudah menanti.
            Ada kutipan ungkapan dari Shakespeare: “Cowards die many times before theirs deaths. The valiant never taste death but once”. Orang-orang penakut merasakan kematian berkali-kali sebelum kematian yang sebenarnya. Orang yang pemberani tidak pernah merasakannya kecuali hanya sekali yaitu pada waktu ia mengalami kematian.
            Peristiwa penerjunan pasukan pada tanggal 17 Oktober 1947 di daerah Kalimantan, pulau harapan yang sangat penting dalam upaya mencapai cita-cita adil dan makmur Indonesia Merdeka, merupakan bukti perjuangan para pelopor Penerjun Payung. Secara resmi hari dan tanggal tersebut telah dijadikan hari jadi Komando Pasukan Gerak Tjepat/ Kopasgat AURI. Cikal-bakal Pasukan Khas Angkatan Udara (Paskhasau).
            Pendaratan yang jauh dari yang diharapkan. Mereka mendarat di tengah hutan belukar dengan pepohonan yang tingginya hampir 40 meter dan memiliki batang pohon yang berdiameter 3 meter. Sehingga semuanya tersangkut di rimbunan daun-daunan pohon “Empas”. Hanya dengan cara menggunakan tali parasut yang disambung-sambungkan maka pasukan peterjun ini dapat mencapai bagian pangkal pohon, dan kemudian menjejakkan kakinya ke tanah.
            Namun, masih ada yang jauh lebih parah daripada mendarat di pohon raksasa. Bachri mendarat tepat masuk di sela-sela rimbunan pohon bambu. Badannya terjepit diantara tiga batang pohon bagaikan ikan yang masuk perangkap bambu. Tidak terbayangkan sakitnya, sangat menyiksa.
            Anggota-anggota peterjun ini mendarat disebuah kampung Sambi namanya. Kampung ini letaknya di tengah-tengah hutan dan hampir tidak memiliki hubungan dengan dunia luar. Kampung inilah yang terlihat dari pesawat dengan ladangnya yang mempunyai tonggak-tonggak besar bekas tebangan pohon dan beberapa buah rumah panggung dicelah-celah hutan yang membentang luas. Penduduknya terdiri dari 12 kepala keluarga, berdiam di beberapa rumah yang didirikan di atas tiang-tiang setinggi dua sampai empat meter. Kampung ini termasuk Suku Dayak Arut.
            Sore itu sebanyak 11 orang dari 13 peterjun dapat berkumpul dalam keadaan selamat. Sangat membanggakan, sebab ini pengalaman pertama dalam melakukan penerjunan. Keesokan harinya jumlah keseluruhan 13 prajurit lengkap setelah bergabungnya dua orang terakhir. Kemudian dengan gerak cepat logistik dikumpulkan. Sayangnya hanya beberapa perlengkapan yang ditemukan sebab semuanya jatuh di hutan rimba yang belum pernah dimasuki oleh manusia.
            Sebelumnya, saat persiapan penerjunan sampai dengan dilaksanakannya misi ini. Ada beberapa peristiwa penting yang perlu dicermati. Perang Dunia ke-II menjadikan pulau terbesar ketiga didunia ini menjadi aset yang sangat penting dalam memenangkan peperangan. Dengan menguasai pulau yang terletak di sebelah utara Pulau Jawa dan di sebelah Barat Pulau Sulawesi ini, maka Jepang maupun Sekutu berikhtiar menguasai seluruh Kepulauan Indonesia. Pulau Borneo, nama yang dipakai oleh kolonial Inggris dan Belanda, dengan luas 743.330 Km2 menjadi sumber logistik untuk membiayai perang. Tidak heran Jepang maupun Sekutu berlomba-lomba untuk menguasai pulau Borneo.            Proklamasi 17 Agustus 1945 menjadi tonggak bersejarah bagi bangsa Indonesia, namun berita menggembirakan ini hanya sayup-sayup sampai di telinga masyarakat Kalimantan. Hal ini tidaklah mengherankan sebab Jepang telah menyita semua alat komunikasi seperti radio. Pada tanggal 10 Oktober 1945 diresmikkan berdirinya Pemerintah Republik Indonesia Daerah dengan ibukotanya Banjarmasin oleh ribuan rakyat Kalimantan sendiri.
            Namun, Sekutu tidak mau mengakui keberadaan pemerintah Republik Indonesia. Walaupun RI telah memproklamasikan kemerdekaannya. Bahkan tidak ingin melihat Sang Merah Putih berkibar. Ini sesuai dengan niat tentara Belanda yang diboncengi NICA untuk menguasai kembali Indonesia, demikian pula ingin menduduki Kalimantan yang kaya dengan sumber daya alamnya. Namun, rakyat melakukan perlawanan yang sengit, dikirimlah ekspedisi-ekspedisi dari Jawa untuk merebut kembali Kalimantan dari cengkraman penjajah Belanda yang semakin bercokol di pulau ‘Paru-paru Dunia’ ini.
            Kebanyakan dari ekspedisi ini mengalami kegagalan karena tidak adanya kesatuan komando, juga disebabkan oleh adanya blokade laut yang dilakukan Belanda untuk menghambat infiltrasi pejuang Indonesia yang berasal dari daerah lain masuk ke wilayah Kalimantan. Blokade ini menghambat komunikasi dengan para pejuang yang berada di Kalimantan.
            Adanya surat Gubernur Kalimantan kepada KSAU, telah menjawab kegagalan infiltrasi selama ini. Demikian Ir. Pangeran Mohammad Noor yang mendapat dukungan moral dari seluruh masyarakat suku Dayak, mengirim surat kepada Kepala Staf Angkatan Udara Republik Indonesia yakni Komodor Udara Suryadi Suryadarma. Berniat untuk menerjunkan pasukan payung di belantara Kalimantan. Isi surat antara lain: “...untuk usaha-usaha merebut Kalimantan menjadi daerah Republik Indonesia. Disamping usaha lain yang kini dijalankan, dipandang perlu memulai pasukan payung mengirim pemuda-pemuda yang berasal dari Kalimantan ke Kalimantan....”.
            Permintaan Ir. Pangeran Mohammad Noor dilanjutkan dengan pembicaraan serius dan akhirnya diputuskan untuk membentuk Staf Khusus untuk pasukan payung Republik Indonesia dibawah Komando Panglima Angkatan Udara. Berdasarkan perintah harian Panglima Besar Jenderal Soedirman Nomor:232/PB/47/I, maka Komodor Udara Suryadi Suryadarma segera melakukan persiapan untuk menerjunkan pasukan payung ke Kotawaringin Kalimantan Tengah.
            Disamping itu diangkat pula Mayor Tjilik Riwut yang asli Kalimantan sebagai Komando Pasukan dan duduk dalam staf sekretaris bagian siasat perang KSAU. Mayor yang lahir dan dibesarkan di Kalimantan ini telah berhasil membentuk kantong-kantong perlawanan di Kalimantan Selatan.
            Persiapan di Pangkalan Udara Maguwo, pelatihan bagi para pemuda yang akan diterjunkan di Kalimantan. Digembleng ada 60 putra Kalimantan, 12 orang dari Sulawesi dan beberapa orang lagi dari Jawa, Madura dan daerah lain. Dilatih oleh Opsir Udara I Sudjono. Hanya berbekal peralatan sederhana, serba darurat, dilatih di darat saja (ground training). Parasut yang digunakan untuk latihan terjun adalah parasut bekas serdadu Jepang. Latihan hanya dalam waktu sepekan, membuat Tjilik Riwut kuatir.
            Dalam pelatihan hanya menerima teori-teori dan bagaimana cara tepat meloncat dari pesawat saat penerjunan. Bagaimana melipat parasut dan dilatih pula terjun bebas dari menara. Tanpa rasa takut para peserta latihan satu per-satu naik ke menara, kemudian menloncat bergantian menggunakan alat yang terbuat dari kain blacu. Setelah latihan dilakukan seleksi, yang terpilih semuanya adalah putra daerah kalimantan. Mereka adalah Iskandar dan Dachlan putra daerah Sampit; J. Bitak dari Kelapa Baru; C. Willems dari Kuala Kapuas; J. Darius dari Kasungan; Achmad Kosasih dari Makuhulu; Bachri dari Barabai; Ali Akbar dan Djarni dari Balikpapan; M. Amiruddin dan Emanuel dari Kahajanhulu; serta Morawi dari Rataupulut. Semuanya menguasai bahasa daerah Dayak Kahajan dengan mahir disamping keterampilan lainnya.
            Misi penerjunan ini adalah untuk membawa alat pemancar (Z/O) yang besar dan lengkap dengan motor dan bahan bakar untuk penggunaan setahun. Selaku pemancar induk sehingga akan berkomunikasi dengan pemancar induk yang ada di Sumatera dan Jawa juga pemancar-pemancar kecil di Kalimantan. Diharapkan ini merupakan dinamisator perjuangan di Kalimantan dikoordinasikan dengan perjuangan di Jawa dan Sumatera. Perjuangan ini pada dasarnya untuk memperkuat perjuangan dan untuk membentuk jaringan perjuangan yang terbesar di Kalimantan.
            Pada tanggal 16 Oktober 1947, pukul 23.00 WIB awak pesawat Dakota C-47 meninggalkan Hotel Tugu menuju Pangkalan Udara Maguwo untuk bersiap melaksanakan operasi. Meskipun rasa kantuk masih bergelayut namun mereka harus cepat tiba di pangkalan udara untuk melakukan pengecekan terakhir.
            Pukul 01.30 WIB tanggal 17 Oktober 1947 pesawat udara telah siap, terdengar amanat KSAU Komodor Udara Suryadi Suryadarma, memberikan petunjuk dan menutup amanatnya dengan sebuah ucapan “Selamat Jalan dan selamat berjuang!”.
            Pesawat C-47 Dakota RI-002 diterbangkan oleh pemiliknya yang berkebangsaan Amerika yakni Robert Earl Freberg. Bertugas sebagai Co-Pilot Opsir Udara III Makmur Suhodo, penunjuk arah Mayor Tjilik Riwut, dan Jumping Master Opsir Muda Udara III Amir Hamzah. Take-off dari Lapangan Terbang Maguwo Yogyakarta tepat pukul 02.30 WIB, lalu membelok ke utara terus menuju ke “Heading” 31 derajat.
            Suasana dalam pesawat hening, semuanya mengikuti alur pikirannya masing-masing. Pagi pukul 05.30, fajar menyingsing, pesawat semakin terbang rendah. Pada pukul 07.00 pesawat telah melayang-layang di atas deretan bukit-bukit, terlihat ladang dan beberapa buah rumah.
            Ketika bel berbunyi tiga kali dan lampu merah di dekat pintu mulai menyala Jumping Master Amir hamzah berdiri dan memberi instruksi serta memeriksa peterjun satu demi satu. Kemudian ia berdiri di depan pintu untuk melihat sejenak ke bawah. Pesawat memutar satu kali untuk memeriksa keadaan serta arah angin. Setelah posisi cukup baik, isyarat dengan bel dua kali , isyarat untuk berbaris di depan pintu yang sudah dalam keadaan terbuka. Bel ketiga kali berbunyi berarti dropping dan jumping di mulai. Pertama kali keluar adalah logistik, kemudian disusul oleh J. Bitak sebagai orang pertama terjun dan bertugas mengawal bendera Sang Merah Putih.
            Setelah itu bergantian drooping perlengkapan. Dachlan terkait di pintu sehingga sulit untuk meloncat keluar badan pesawat. Untung saja, dapat segera diketahui dan ditolong, sehingga dapat terjun dengan selamat. Djarni mengalami shock berat sehingga tidak jadi terjun. Wajahnya pucat seputih kapas, tubuhnya gemetar dan keringat dingin mengucur deras. Dengan pertimbangan yang bijak, Djarni tidak jadi diterjunkan.
            Tujuan utama dilaksanakannya operasi penerjunan pasukan payung di Kotawaringin Kalimantan ini adalah untuk menjalin hubungan komunikasi radio antara Kalimantan dan Yogyakarta sebagai Ibukota Negara Indonesia. Di dalam perjuangan merebut kemerdekaan Indonesia.
            Namun, misi pengiriman pasukan payung ini diketahui oleh pihak penjajah Belanda. Mereka disergap, diserang dan ditangkap; sehingga misi penyusupan ini gagal. Namun, peristiwa ini membawa dampak yang sangat besar bagi pihak musuh dan juga bagi para pejuang itu sendiri.
            Penyusupan pasukan payung ini menjadi bukti yang kuat bahwa perjuangan rakyat Indonesia untuk lepas dari penjajahan bangsa asing tetaplah nyata. Walaupun merupakan suatu hal yang mustahil, namun penerjunan ini telah membuka mata dunia Internasional, bahwa Indonesia ada dan berdaulat, dan Kalimantan adalah bagian yang terintegrasi dengan Indonesia. Bagi para pejuang, hal ini merupakan dorongan moril untuk tetap berjuang mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
            Perjuangan dan kesediaan mereka untuk berkorban jiwa dan raga merupakan nilai-nilai kejuangan yang patut diteladani oleh generasi muda sekarang ini. Para pelopor penerjun payung sama sekali tidak mempedulikan akan peralatan yang sangat sederhana. Bahaya tidak dihiraukan oleh mereka, untuk membebaskan Kampung Halaman-nya dari Belanda yang ingin kembali bercokol.
            Dalam serba penuh keterbatasan, hanya latihan di darat, mereka bertekad untuk terjun dari udara dengan menggunakan pesawat terbang yang usianya se-uzur keadaan payung yang digunakan. Caranya pun jauh dari standar keselamatan, sangat sederhana, hanya dengan meloncat keluar dari kokpit pesawat yang memang sudah terbuka. Bahkan ada yang harus merayap dulu baru meloncat dan mengembangkan payung. Namun apa yang terjadi pada tanggal 17 Oktober 1947 ini menjadi sejarah operasi penerjunan pasukan dari udara untuk pertama kali di Indonesia dan yang paling lengkap, sebab diikuti dengan dropping logistik.
            Kisah penerjunan 17 Oktober 1947 adalah gambaran nyata kebesaran jiwa Putra Bangsa, dengan sinar kebesaran jiwa proklamasi yang menyala di dada para pelopor perjuangan bangsa. Old Soldier Never Dies, Les Fade Away....(Capt.Michiko)
           
           
           

           
           
           

Tidak ada komentar: