Kamis, 25 Juni 2015

PENDING EMAS



PENDING EMAS
(Karya Saduran oleh : Kapten Sus Michiko Moningkey)

            Di kalangan generasi muda abad modern ini, masih adakah yang mengetahui kisah gadis Pending Emas? Bahkan mungkin dikalangan wanita militer saat ini, tidak pernah menyadari.
Ada pelaku sejarah yang memperoleh penghargaan khusus dari Presiden Republik Indonesia. Dan pribadi itu adalah seorang wanita yang bernama Harlina (berubah nama menjadi Herlina).
Wanita pertama yang mendarat di Irian Barat. Oleh Presiden RI selaku Panglima Besar Komando Tertinggi Pembebasan Irian Barat, dianugerahkan pending emas seberat setengah kilogram.
            Sebentuk penghargaan atas perjuangannya dalam pembebasan Irian Barat (sekarang Papua Barat) pada tahun 1961. Dan atas perjuangannya itu, kemudian pada 2 Maret 1963 Herlina mengenakan pakaian hijau.
Selanjutnya mengikuti latihan militer sebagai calon Kowad (Korps Wanita TNI Angkatan Darat). Sebab sejak awal keikutsertaannya dalam perjuangan pembebasan Irian Barat, Herlina selalu saja dan tanpa sengaja bertemu dengan militer Indonesia.
Bantuan terbesar diperolehnya dari pihak TNI Angkatan Darat. Herlina adalah salah seorang pejuang yang telah menyumbangkan darma bhaktinya. Sukarelawati yang pertama mendarat di bumi Irian Barat.
            Setelah Panglima Tertinggi Angkatan Perang RI menyerukan Tri Komando Rakyat; Herlina tergerak hati untuk membela Ibu Pertiwi.
Sekalipun ia seorang wanita, Ia memiliki pendirian yang teguh dan terutama memiliki sikap hati untuk memberi. Memberikan seluruh jiwa raganya bagi Indonesia yang ia cinta dan banggakan.
            Demikian pula, wawasan berpikir yang luas, ia miliki. Menurutnya, kesempatan sangat terbuka bagi kaum wanita untuk berkiprah di bidangnya masing-masing.
            Kiprah wanita Indonesia sudah bukan seperti pada zaman Kolonial. Perkembangan kemajuan wanita Indonesia, adalah untuk mengusahakan satu pengertian yang sama.
            Bahwa kaum wanita tidak kalah penting peranannya di dalam masyarakat. Sebab, masyarakat tidak hanya dibentuk oleh kaum pria tetapi juga oleh kaum wanita.
            Idenya adalah untuk maju sesuai tuntutan zaman. Kaum wanita dapat menuntun generasi muda dalam mengutamakan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi.
            Semua bermula saat Herlina menginjakkkan kaki di Ibukota Irian Barat. Yakni di kota Soasiu di pulau Tidore.
Sebelum Irian Barat kembali ke wilayah Indonesia; propinsi Irian Barat telah terbentuk sejak tahun 1956. Dengan ibukota Soasiu di pulau Tidore, disebelah utara kepulauan Maluku.
            Saat itu keadaan ibukota propinsi, jauh sekali dari harapannya. Kenyataan keprihatinan yang ditemuinya di lapangan, mendorong hati nuraninya untuk menerbitkan surat kabar lokal.
            Dengan maksud untuk menyaingi pemberitaan propaganda dari penjajah Kolonialisme. Yang selalu mendeskreditkan pemerintahan Indonesia.
Kemudian berbekal tekad yang sangat kuat, Herlina balik ke kota Jakarta. Dan keluar-masuk kantor Departemen Penerangan Jakarta. Meminta bantuan kertas untuk penerbitan di kota Soasiu.
            Walau di tolak dan dikecilkan artinya oleh pegawai-pegawai Departemen Penerangan, Herlina tidak mundur sekalipun.    
            Menurutnya, semuanya tidak cukup hanya dengan kemauan saja. Cita-cita harus di capai dengan usaha. Tetapi modal utama adalah kemauan. Tanpa adanya kemauan, manusia takkan berusaha.
            Kantornya didirikannya di Ternate, tetapi percetakannya berada di Soasiu. Dari Soasiu ke Ternate harus menggunakan motor boat, kapal bermotor, inipun tidak setiap harinya. Maka biasanya menggunakan perahu nelayan.
            Keseriusannya untuk menerbitkan surat kabar di dorong oleh keinginan untuk menanamkan pengertian. Kepada penduduk di perbatasan tentang kegiatan perjuangan Indonesia.
            Dan Soasiu sangat penting kedudukannya sebab merupakan daerah propinsi perjuangan Irian Barat. Setidaknya, dengan adanya penerangan melalui penerbitan dapat menggugah semangat setiap orang.
            Memang perjuangannya tidaklah mudah. Banyak tantangan yang harus dihadapinya seorang diri. Dia harus berhadapan dengan orang-orang yang apatis tentang ide menerbitkan surat kabar.
            Kesulitan memperoleh bantuan kertas, menempuh perjalanan laut yang sukar, harus ditempuhnya dengan keberanian yang besar. Mengarungi lautan, melawan kelemahan dirinya sebagai wanita.
            Bahkan harus berhadapan dengan sikap antipati dari kaumnya sendiri. Saat berupaya keras menerbitkan koran di kota Soasiu.
            Banyak hal yang datang menimpa dirinya, menurutnya hal itu menjadikannya semakin semangat untuk membuktikan. Bahwa ia mampu mengemban tanggungjawab yang dipercayakan oleh Panglima Mandala kepadanya.
            Tantangan yang terberat adalah bagaimana tetap mengobarkan semangat saat keadaan tidak sesuai harapan.
            Dalam semua situasi yang tidak mengenakkan. Ada saja uluran bantuan datang. Gubernur propinsi yang termuda ini, Kolonel Pemoedji bersedia menghubungi Menteri Penerangan untuk pengadaan kertas.
            Demikian pula, Kodam Hasanuddin telah bersedia berlangganan. Apalagi Kodam XV memberikan pinjaman dana.
            Pernah sekali, ketinggalan perahu motor, saat akan ke Soasiu dari Ternate. Terpaksa naik perahu nelayan, berlayar dua jam mendayung, tiba di Kampung Rum pulau Tidore. Dari pulau Tidore menuju Soasiu.
            Mengalami keadaan basah oleh air laut yang gemericik masuk ke dalam perahu. Menahan lapar seharian. Pakaian kering di badan.
            Dari Kampung Rum menuju Soasiu, jaraknya 24 kilometer. Menyewa sepeda yang hanya satu-satunya di kampung itu. Kemudian menempuh jalan yang naik-turun bukit, panas terik menyengat. Menambah haus dan menahan lapar. Setibanya di Soasiu sudah harus langsung berkutat dengan urusan percetakan.
            Menghadapi boikot pekerja, yang dengan sengaja meninggalkan tempat dengan berbagai alasan. Sehingga koran terancam terlambat terbit.
Padahal semuanya dikerjakannya bukan tujuan keuntungan. Sebab tidak ada keuntungan yang akan mungkin diperoleh dengan situasi dan kondisi masyarakat yang susah saat itu.
Demikian pula, selama penerbitan, telah terbiasa bekerja hingga larut malam. Saat pulang ke rumah, berjalan kaki sendirian. Sebab tidak ingin menimbulkan kesan yang buruk, apabila di antar oleh seorang pria. Keadaan gelap, sepi, hanya ada bunyi jangkrik.
Rumah penduduk berjauhan satu sama lain. Lampu semuanya sudah padam. Jalan sendirian di pinggir hutan, alang-alangnya lebat. Setiap bunyi membangkitkan bulu kuduknya. Pulang larut malam adalah sebuah siksaan tersendiri baginya.
Akhirnya dengan perjuangan yang gigih, Surat Kabar nirlaba di kota Soasiu bisa terbit. Headline ‘Karya’ pun terbit di akhir tahun 1961. Herlina bekerja dengan tidak mengenal lelah. Bekerja setiap harinya dibantu oleh beberapa sukarelawan dengan satu orang kepercayaan.
Kemudian dalam situasi yang makin bergejolak. Makin hebatnya propaganda Belanda, Indonesia juga tidak ketinggalan. Herlina mengkoordinasikan demo menentang terbentuknya Dewan Papua bentukan Kolonial.
Setelah kunjungan Menteri Leimena dan pejabat pemerintah RI lainnya ke Soasiu. Semakin berkobar semangat untuk merebut Irian Barat ke pangkuan Ibu Pertiwi.
Ide sangat banyak bermunculan dipikirannya. Melihat situasi Soasiu yang kurang bersemangat, mendorong Herlina untuk mengadakan pertemuan seni. Atau acara hiburan.
Menjadi Event Organiser (EO) pada saat itu, kembali membuktikan kemampuannya dalam menggerakkan banyak orang.Berbarengan dengan acara hiburan di gelar, Herlina mendirikan Wisma Lina.
Ruang Perpustakaan yang penuh berisi buku-buku bacaan rakyat. Bacaan yang meningkatkan pengetahuan umum. Demikian pula, pada hari-hari tertentu diadakan acara yang meriah.
Multi peran. Herlina setiap harinya berkutat dengan tinta-tinta percetakan. Juga memimpin perpustakaan. Atau sekaligus menjadi tukang antar koran. Selain itu menjadi Ketua Yayasan Kartika Lina yang ia ambil namanya dari lambang TNI AD.
Peristiwa tergelincir jatuh, mengharuskannya untuk beberapa bulan berada di Makasar dan Jakarta. Ia beristirahat dari semua kesibukannya. Bekas sobekan di sebelah kiri matanya tidak sembuh-sembuh. Sehingga mengharuskannya berangkat berobat.
Ternyata keadaan ini dimanfaatkan oleh beberapa orang yang antipati dengan sepak-terjangnya di Soasiu. Dengan menyebarkan berita bohong. Bahwa ia ditangkap sebagai mata-mata Belanda.
Baginya, fitnahan semacam ini hanyalah sebagai seni dalam kehidupan. Dengan tersenyum dihadapinya dengan tegar.
Setelah kegiatan operasi Irian Barat dicanangkan. Seluruh kegiatan operasi dipusatkan kepada Komando Pembebasan Irian Barat “Mandala” berkedudukan di Makassar.
Herlina menganggap adalah penting barisan wartawan atau tim penerangan untuk masuk ke Irian Barat. Bukan hanya personil pasukan militer.
Dari keterangan yang dihimpunnya dia berkeyakinan bahwa penduduk Irian Barat perlu didekati oleh orang-orang yang bukan hanya dari kalangan militer.
Ia memikirkan rencana ini dengan bersungguh-sungguh hati. Setelah itu dengan tekad bulat, berangkatlah ia menuju kota Makassar. Tetapi sebelumnya, pekerjaannya di Soasiu telah didelegasikan kepada stafnya.
Herlina menghadap Panglima Mandala agar mendapatkan ijin untuk masuk ke propinsi Irian Barat. Setelah ijin diberikan, Herlina merasa seperti mendapatkan durian runtuh. Ia sangat gembira dan bersemangat atas kesempatan yang telah diperolehnya.
Selanjutnya dengan berbekal muatan logistik 250 kg, Herlina terbang dengan pesawat C-130 Hercules. Mendarat di lapangan terbang Laha, yang berada jauh dari kota Ambon.
Logistik yang dibawanya menuntutnya untuk dua kali bolak-balik ke lapangan terbang. Mengambil barang-barang lainnya.
Di kota Ambon inilah, pada pertama kalinya Herlina mengalami kecelakaan mobil. Mobil yang ditumpangi terbalik setelah menabrak tiang listrik. Namun, untungnya dia selamat.
Bukan hanya itu saja, ujian keyakinan datang menghampirinya. Pembicaraan alot tentang pantas atau tidaknya ia mengikuti operasi ke Irian Barat, mencuat.
Salah satu Komandan Pos di Irian Barat Mayor Narto, mendatanginya dan bersoal-jawab. Tentang betapa beresikonya membawa serta wanita di tengah-tengah pasukan yang jauh dari keluarganya masing-masing. Dan apalagi telah berbulan-bulan bertugas di medan perang.

Namun, hal itu di tepis olehnya. Pendiriannya teguh. Ia ikut serta dalam operasi pembebasan Irian Barat. Adalah juga untuk menjunjung tinggi nama kaum wanita.
Herlina berargumentasi bahwa apa yang sekarang dia lakukan akan memiliki dampak luas bagi kaumnya. Sebab ia tidak hanya mewakili dirinya sendiri. Tetapi seluruh kaum wanita.
Akhirnya, kata sepakat diperoleh. Komandan Pos tidak meragukan moral pasukannya dan pula tidak meragukan kemampuan Herlina.
Ia berangkat ke Irian Barat. Membawa perlengkapan pribadi seadanya, dan terutama kertas untuk menulis pemberitaan.
Bersama-sama sekelompok pejuang RI, ia berlabuh di dekat pulau terpencil, Pulau Gebe, mendarat dengan sebuah perahu. Pulau Gebe ditempati oleh pasukan kawan. Laut Gebe terkenal ganas, sehingga lalu lintas sangatlah terbatas.
Di pulau terpencil inilah, Herlina dengan sabar menggugah hati para Ibu-ibu dan kaum muda. Bagaimana arti kebersihan lingkungan dan pribadi.
Lambat laun penerimaan akan dirinya berlangsung dengan alami dan hangat. Dengan idenya, terlaksanalah malam hiburan di kampung pulau Gebe. Untuk membangkitkan semangat perjuangan. Dan hal ini menambah kasih sayang penduduk kepada Herlina.
Ia memberikan penerangan-penerangan tentang bagaimana hidup bermasyarakat dan bernegara. Tidak dengan pidato yang panjang. Tetapi dengan pergaulan yang intens. Bercerita secara langsung dalam satu kelompok kepada kelompok lainnya. Menggunakan bahasa yang sederhana dan mudah dimengerti.
Kemudian dengan bantuan nelayan-nelayan yang handal dari pulau Gebe, ia dan beberapa pejuang dapat menembus lautan yang ganas. Menuju pulau Kawe.
Susah senang dialami bersama. Perahu didorong di atas pasir untuk disembunyikan dari pemandangan musuh. Kemudian rombongan beristirahat beratapkan langit, beralaskan pasir. Mulai saat itu, makanan dihemat secara luar-biasa.
Dengan kompak, rombongan Herlina menembus batas garis musuh. Banyak kali kapal laut Belanda berpatroli di perairan Irian Barat. Mereka harus bisa mengatasi ancaman kematian dari laut yang ganas dan batu karang pula. Juga dari intaian kapal musuh yang canggih.
Kemudian, pertempuran tidak terelakkan, terjadi di pulau Waigeo. Walaupun kalah dalam segi jumlah tetapi diuntungkan oleh sikon alam. Keadaan teluk yang penuh dengan batu karang, membuat Belanda tidak berani ambil resiko untuk memasuki Teluk Arago.
Di kepulauan inilah, Herlina bersembunyi dan berusaha menghindari patroli kapal musuh yang hilir-mudik. Kemudian masuk ke dalam hutan dan mengalami kekurangan asupan makanan.
Demikian pula, perairan pulau Raja Ampat sangat berbahaya untuk diarungi sebab musuh mengintai.
Sepanjang perjalanan menembus Irian Barat, senjata Herlina hanyalah mesin stensil, kertas dan radio kecil. Dari radio PHB inilah, kelompok pejuang ini dapat mengambil keputusan untuk mulai bergerak atau tidak.
Dari mesin stensil ini pulalah Herlina dapat menerbitkan “Cenderawasih” dari tengah hutan. Ia juga mengadakan pendekatan dengan penduduk.
Kemudian akhirnya melalui radio, dikabarkan bahwa pada 18 Agustus 1962 telah ditandatangani persetujuan penghentian tembak-menembak antara pejuang RI dan pasukan Belanda.
Secara perlahan pasukan pejuang mulai turun-gunung. Herlina dan teman-temannya ke kampung Lam-lam, tidak jauh jaraknya dari pulau Waigeo.
Dari keterangan penduduk dapat diketahui bahwa Belanda telah menyerah. Hal ini sebagai tanda Herlina kembali ke tengah kota.
Banyak orang menjadi keheranan setelah melihat dirinya keluar dari hutan. Mereka tidak pernah menyangka ada pasukan yang memiliki pejuang wanitanya. Sendirian pula.
Bahkan utusan PBB (UNTEA) juga sangat heran setelah mengetahui ada satu-satunya wanita di antara pejuang RI. Heran, bahwa pasukan pejuang di dalam hutan bisa bersama-sama wanita.
Di kota Sorong dan kemudian di kota Baru-lah, Herlina menjadi inspirator bagi penduduk lokal. Ia kemudian menjalani misinya untuk menarik hati penduduk lokal. Membuka pengertian mereka tentang artinya negara Indonesia.
Kembali lagi Herlina menjadi seorang EO yang handal. Berbagai kegiatan yang bersifat mengumpulkan massa dikerjakan olehnya.
Sambil menyampaikan kebenaran tentang Indonesia Raya, untuk menggugah rasa nasionalisme masyarakat lokal.
Demikianlah yang dikerjakan Herlina, sehingga Sumpah Pemuda diikrarkan oleh pemuda-pemudi Irian. Ini menjadi bagian penting dari sejarah. Ikrar ini sebagai tanda jelas kembalinya Irian Barat ke pangkuan Ibu Pertiwi.
Namun diatas semuanya ini, Herlina mengakui semua perjuangannya dapat terjadi, karena mendapatkan dukungan dari rakyat Irian Barat. Ia juga aktif dalam penyelenggaraan berdirinya Universitas Cenderawasih di Kota Baru. Menjadi ketua penyelenggara pameran buku di Kota Baru selama tiga hari berturut-turut.
Akhir dari semuanya, 13 Februari 1963, Herlina turut menyaksikan apel besar sukarelawan Irian Barat di Istana Negara. Herlina tidak kuasa menahan haru, ia meneteskan air-mata. Membayangkan pedih-manisnya perjuangan di Irian Barat.
Presiden Soekarno kemudian menyematkan Bintang Dharma Bhakti di dada sebelah kirinya. Selanjutnya pending (ikat pinggang) yang terbuat dari emas, dikalungkan di lehernya.

Herlina kemudian menyerahkan kembali emas setengah kilogram ini kepada Presiden Soekarno. Sebab ia mengingat pejuang-pejuang lainnya yang telah cacat dan telah berjuang bersama-sama.
Bukan hanya itu saja, Herlina sangat beruntung sebab menerima panggilan mengikuti pendidikan latihan Kowad. Sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Pangad.
Seiring dengan terbitnya buku karangannya sendiri. Dengan judul Pending Emas. Namanya kemudian berubah, yang semula J. Harlina menjadi J. Herlina.***(Disadur oleh: Kapten Sus Michiko; sekarang menjabat sebagai Kasubsi Pustak Dinas Penerangan TNI AU; 
           

Tidak ada komentar: