PENDING EMAS
(Karya Saduran oleh : Kapten Sus Michiko Moningkey)
Di kalangan generasi muda abad
modern ini, masih adakah yang mengetahui kisah gadis Pending Emas? Bahkan
mungkin dikalangan wanita militer saat ini, tidak pernah menyadari.
Ada pelaku sejarah yang memperoleh
penghargaan khusus dari Presiden Republik Indonesia. Dan pribadi itu adalah
seorang wanita yang bernama Harlina (berubah nama menjadi Herlina).
Wanita pertama yang mendarat di Irian Barat.
Oleh Presiden RI selaku Panglima Besar Komando Tertinggi Pembebasan Irian Barat,
dianugerahkan pending emas seberat setengah kilogram.
Sebentuk penghargaan atas
perjuangannya dalam pembebasan Irian Barat (sekarang Papua Barat) pada tahun
1961. Dan atas perjuangannya itu, kemudian pada 2 Maret 1963 Herlina mengenakan
pakaian hijau.
Selanjutnya mengikuti latihan militer sebagai
calon Kowad (Korps Wanita TNI Angkatan Darat). Sebab sejak awal keikutsertaannya
dalam perjuangan pembebasan Irian Barat, Herlina selalu saja dan tanpa sengaja
bertemu dengan militer Indonesia.
Bantuan terbesar diperolehnya dari pihak TNI
Angkatan Darat. Herlina adalah salah seorang pejuang yang telah menyumbangkan
darma bhaktinya. Sukarelawati yang pertama mendarat di bumi Irian Barat.
Setelah Panglima Tertinggi Angkatan
Perang RI menyerukan Tri Komando Rakyat; Herlina tergerak hati untuk membela
Ibu Pertiwi.
Sekalipun ia seorang wanita, Ia memiliki
pendirian yang teguh dan terutama memiliki sikap hati untuk memberi. Memberikan
seluruh jiwa raganya bagi Indonesia yang ia cinta dan banggakan.
Demikian pula, wawasan berpikir yang
luas, ia miliki. Menurutnya, kesempatan sangat terbuka bagi kaum wanita untuk
berkiprah di bidangnya masing-masing.
Kiprah wanita Indonesia sudah bukan
seperti pada zaman Kolonial. Perkembangan kemajuan wanita Indonesia, adalah
untuk mengusahakan satu pengertian yang sama.
Bahwa kaum wanita tidak kalah
penting peranannya di dalam masyarakat. Sebab, masyarakat tidak hanya dibentuk
oleh kaum pria tetapi juga oleh kaum wanita.
Idenya adalah untuk maju sesuai
tuntutan zaman. Kaum wanita dapat menuntun generasi muda dalam mengutamakan
kepentingan negara di atas kepentingan pribadi.
Semua bermula saat Herlina
menginjakkkan kaki di Ibukota Irian Barat. Yakni di kota Soasiu di pulau
Tidore.
Sebelum Irian Barat kembali ke wilayah
Indonesia; propinsi Irian Barat telah terbentuk sejak tahun 1956. Dengan
ibukota Soasiu di pulau Tidore, disebelah utara kepulauan Maluku.
Saat itu keadaan ibukota propinsi,
jauh sekali dari harapannya. Kenyataan keprihatinan yang ditemuinya di
lapangan, mendorong hati nuraninya untuk menerbitkan surat kabar lokal.
Dengan maksud untuk menyaingi
pemberitaan propaganda dari penjajah Kolonialisme. Yang selalu mendeskreditkan
pemerintahan Indonesia.
Kemudian berbekal tekad yang sangat kuat,
Herlina balik ke kota Jakarta. Dan keluar-masuk kantor Departemen Penerangan
Jakarta. Meminta bantuan kertas untuk penerbitan di kota Soasiu.
Walau di tolak dan dikecilkan artinya
oleh pegawai-pegawai Departemen Penerangan, Herlina tidak mundur sekalipun.
Menurutnya, semuanya tidak cukup
hanya dengan kemauan saja. Cita-cita harus di capai dengan usaha. Tetapi modal
utama adalah kemauan. Tanpa adanya kemauan, manusia takkan berusaha.
Kantornya didirikannya di Ternate,
tetapi percetakannya berada di Soasiu. Dari Soasiu ke Ternate harus menggunakan
motor boat, kapal bermotor, inipun tidak setiap harinya. Maka biasanya
menggunakan perahu nelayan.
Keseriusannya untuk menerbitkan
surat kabar di dorong oleh keinginan untuk menanamkan pengertian. Kepada
penduduk di perbatasan tentang kegiatan perjuangan Indonesia.
Dan Soasiu sangat penting
kedudukannya sebab merupakan daerah propinsi perjuangan Irian Barat. Setidaknya,
dengan adanya penerangan melalui penerbitan dapat menggugah semangat setiap
orang.
Memang perjuangannya tidaklah mudah.
Banyak tantangan yang harus dihadapinya seorang diri. Dia harus berhadapan
dengan orang-orang yang apatis tentang ide menerbitkan surat kabar.
Kesulitan memperoleh bantuan kertas,
menempuh perjalanan laut yang sukar, harus ditempuhnya dengan keberanian yang
besar. Mengarungi lautan, melawan kelemahan dirinya sebagai wanita.
Bahkan harus berhadapan dengan sikap
antipati dari kaumnya sendiri. Saat berupaya keras menerbitkan koran di kota
Soasiu.
Banyak hal yang datang menimpa
dirinya, menurutnya hal itu menjadikannya semakin semangat untuk membuktikan.
Bahwa ia mampu mengemban tanggungjawab yang dipercayakan oleh Panglima Mandala
kepadanya.
Tantangan yang terberat adalah
bagaimana tetap mengobarkan semangat saat keadaan tidak sesuai harapan.
Dalam semua situasi yang tidak
mengenakkan. Ada saja uluran bantuan datang. Gubernur propinsi yang termuda
ini, Kolonel Pemoedji bersedia menghubungi Menteri Penerangan untuk pengadaan
kertas.
Demikian pula, Kodam Hasanuddin telah
bersedia berlangganan. Apalagi Kodam XV memberikan pinjaman dana.
Pernah sekali, ketinggalan perahu
motor, saat akan ke Soasiu dari Ternate. Terpaksa naik perahu nelayan, berlayar
dua jam mendayung, tiba di Kampung Rum pulau Tidore. Dari pulau Tidore menuju
Soasiu.
Mengalami keadaan basah oleh air
laut yang gemericik masuk ke dalam perahu. Menahan lapar seharian. Pakaian
kering di badan.
Dari Kampung Rum menuju Soasiu,
jaraknya 24 kilometer. Menyewa sepeda yang hanya satu-satunya di kampung itu.
Kemudian menempuh jalan yang naik-turun bukit, panas terik menyengat. Menambah
haus dan menahan lapar. Setibanya di Soasiu sudah harus langsung berkutat
dengan urusan percetakan.
Menghadapi boikot pekerja, yang
dengan sengaja meninggalkan tempat dengan berbagai alasan. Sehingga koran
terancam terlambat terbit.
Padahal semuanya dikerjakannya bukan tujuan
keuntungan. Sebab tidak ada keuntungan yang akan mungkin diperoleh dengan
situasi dan kondisi masyarakat yang susah saat itu.
Demikian pula, selama penerbitan, telah terbiasa
bekerja hingga larut malam. Saat pulang ke rumah, berjalan kaki sendirian. Sebab
tidak ingin menimbulkan kesan yang buruk, apabila di antar oleh seorang pria. Keadaan
gelap, sepi, hanya ada bunyi jangkrik.
Rumah penduduk berjauhan satu sama lain.
Lampu semuanya sudah padam. Jalan sendirian di pinggir hutan, alang-alangnya
lebat. Setiap bunyi membangkitkan bulu kuduknya. Pulang larut malam adalah sebuah
siksaan tersendiri baginya.
Akhirnya dengan perjuangan yang gigih, Surat
Kabar nirlaba di kota Soasiu bisa terbit. Headline
‘Karya’ pun terbit di akhir tahun 1961. Herlina bekerja dengan tidak mengenal
lelah. Bekerja setiap harinya dibantu oleh beberapa sukarelawan dengan satu
orang kepercayaan.
Kemudian dalam situasi yang makin bergejolak.
Makin hebatnya propaganda Belanda, Indonesia juga tidak ketinggalan. Herlina
mengkoordinasikan demo menentang terbentuknya Dewan Papua bentukan Kolonial.
Setelah kunjungan Menteri Leimena dan pejabat
pemerintah RI lainnya ke Soasiu. Semakin berkobar semangat untuk merebut Irian
Barat ke pangkuan Ibu Pertiwi.
Ide sangat banyak bermunculan dipikirannya.
Melihat situasi Soasiu yang kurang bersemangat, mendorong Herlina untuk
mengadakan pertemuan seni. Atau acara hiburan.
Menjadi Event
Organiser (EO) pada saat itu, kembali membuktikan kemampuannya dalam menggerakkan
banyak orang.Berbarengan dengan acara hiburan di gelar, Herlina mendirikan
Wisma Lina.
Ruang Perpustakaan yang penuh berisi buku-buku
bacaan rakyat. Bacaan yang meningkatkan pengetahuan umum. Demikian pula, pada
hari-hari tertentu diadakan acara yang meriah.
Multi peran. Herlina setiap harinya berkutat
dengan tinta-tinta percetakan. Juga memimpin perpustakaan. Atau sekaligus menjadi
tukang antar koran. Selain itu menjadi Ketua Yayasan Kartika Lina yang ia ambil
namanya dari lambang TNI AD.
Peristiwa tergelincir jatuh, mengharuskannya
untuk beberapa bulan berada di Makasar dan Jakarta. Ia beristirahat dari semua
kesibukannya. Bekas sobekan di sebelah kiri matanya tidak sembuh-sembuh.
Sehingga mengharuskannya berangkat berobat.
Ternyata keadaan ini dimanfaatkan oleh
beberapa orang yang antipati dengan sepak-terjangnya di Soasiu. Dengan
menyebarkan berita bohong. Bahwa ia ditangkap sebagai mata-mata Belanda.
Baginya, fitnahan semacam ini hanyalah
sebagai seni dalam kehidupan. Dengan tersenyum dihadapinya dengan tegar.
Setelah kegiatan operasi Irian Barat
dicanangkan. Seluruh kegiatan operasi dipusatkan kepada Komando Pembebasan
Irian Barat “Mandala” berkedudukan di Makassar.
Herlina menganggap adalah penting barisan wartawan
atau tim penerangan untuk masuk ke Irian Barat. Bukan hanya personil pasukan
militer.
Dari keterangan yang dihimpunnya dia
berkeyakinan bahwa penduduk Irian Barat perlu didekati oleh orang-orang yang
bukan hanya dari kalangan militer.
Ia memikirkan rencana ini dengan
bersungguh-sungguh hati. Setelah itu dengan tekad bulat, berangkatlah ia menuju
kota Makassar. Tetapi sebelumnya, pekerjaannya di Soasiu telah didelegasikan
kepada stafnya.
Herlina menghadap Panglima Mandala agar
mendapatkan ijin untuk masuk ke propinsi Irian Barat. Setelah ijin diberikan,
Herlina merasa seperti mendapatkan durian runtuh. Ia sangat gembira dan
bersemangat atas kesempatan yang telah diperolehnya.
Selanjutnya dengan berbekal muatan logistik
250 kg, Herlina terbang dengan pesawat C-130 Hercules. Mendarat di lapangan terbang
Laha, yang berada jauh dari kota Ambon.
Logistik yang dibawanya menuntutnya untuk dua
kali bolak-balik ke lapangan terbang. Mengambil barang-barang lainnya.
Di kota Ambon inilah, pada pertama kalinya
Herlina mengalami kecelakaan mobil. Mobil yang ditumpangi terbalik setelah
menabrak tiang listrik. Namun, untungnya dia selamat.
Bukan hanya itu saja, ujian keyakinan datang
menghampirinya. Pembicaraan alot tentang pantas atau tidaknya ia mengikuti
operasi ke Irian Barat, mencuat.
Salah satu Komandan Pos di Irian Barat Mayor
Narto, mendatanginya dan bersoal-jawab. Tentang betapa beresikonya membawa
serta wanita di tengah-tengah pasukan yang jauh dari keluarganya masing-masing.
Dan apalagi telah berbulan-bulan bertugas di medan perang.
Namun, hal itu di tepis olehnya. Pendiriannya
teguh. Ia ikut serta dalam operasi pembebasan Irian Barat. Adalah juga untuk
menjunjung tinggi nama kaum wanita.
Herlina berargumentasi bahwa apa yang
sekarang dia lakukan akan memiliki dampak luas bagi kaumnya. Sebab ia tidak hanya
mewakili dirinya sendiri. Tetapi seluruh kaum wanita.
Akhirnya, kata sepakat diperoleh. Komandan
Pos tidak meragukan moral pasukannya dan pula tidak meragukan kemampuan
Herlina.
Ia berangkat ke Irian Barat. Membawa
perlengkapan pribadi seadanya, dan terutama kertas untuk menulis pemberitaan.
Bersama-sama sekelompok pejuang RI, ia berlabuh
di dekat pulau terpencil, Pulau Gebe, mendarat dengan sebuah perahu. Pulau Gebe
ditempati oleh pasukan kawan. Laut Gebe terkenal ganas, sehingga lalu lintas
sangatlah terbatas.
Di pulau terpencil inilah, Herlina dengan
sabar menggugah hati para Ibu-ibu dan kaum muda. Bagaimana arti kebersihan
lingkungan dan pribadi.
Lambat laun penerimaan akan dirinya
berlangsung dengan alami dan hangat. Dengan idenya, terlaksanalah malam hiburan
di kampung pulau Gebe. Untuk membangkitkan semangat perjuangan. Dan hal ini
menambah kasih sayang penduduk kepada Herlina.
Ia memberikan penerangan-penerangan tentang
bagaimana hidup bermasyarakat dan bernegara. Tidak dengan pidato yang panjang.
Tetapi dengan pergaulan yang intens. Bercerita secara langsung dalam satu
kelompok kepada kelompok lainnya. Menggunakan bahasa yang sederhana dan mudah
dimengerti.
Kemudian dengan bantuan nelayan-nelayan yang
handal dari pulau Gebe, ia dan beberapa pejuang dapat menembus lautan yang
ganas. Menuju pulau Kawe.
Susah senang dialami bersama. Perahu didorong
di atas pasir untuk disembunyikan dari pemandangan musuh. Kemudian rombongan
beristirahat beratapkan langit, beralaskan pasir. Mulai saat itu, makanan
dihemat secara luar-biasa.
Dengan kompak, rombongan Herlina menembus
batas garis musuh. Banyak kali kapal laut Belanda berpatroli di perairan Irian
Barat. Mereka harus bisa mengatasi ancaman kematian dari laut yang ganas dan
batu karang pula. Juga dari intaian kapal musuh yang canggih.
Kemudian, pertempuran tidak terelakkan, terjadi
di pulau Waigeo. Walaupun kalah dalam segi jumlah tetapi diuntungkan oleh sikon
alam. Keadaan teluk yang penuh dengan batu karang, membuat Belanda tidak berani
ambil resiko untuk memasuki Teluk Arago.
Di kepulauan inilah, Herlina bersembunyi dan
berusaha menghindari patroli kapal musuh yang hilir-mudik. Kemudian masuk ke
dalam hutan dan mengalami kekurangan asupan makanan.
Demikian pula, perairan pulau Raja Ampat
sangat berbahaya untuk diarungi sebab musuh mengintai.
Sepanjang perjalanan menembus Irian Barat,
senjata Herlina hanyalah mesin stensil, kertas dan radio kecil. Dari radio PHB
inilah, kelompok pejuang ini dapat mengambil keputusan untuk mulai bergerak
atau tidak.
Dari mesin stensil ini pulalah Herlina dapat
menerbitkan “Cenderawasih” dari tengah hutan. Ia juga mengadakan pendekatan
dengan penduduk.
Kemudian akhirnya melalui radio, dikabarkan
bahwa pada 18 Agustus 1962 telah ditandatangani persetujuan penghentian tembak-menembak
antara pejuang RI dan pasukan Belanda.
Secara perlahan pasukan pejuang mulai
turun-gunung. Herlina dan teman-temannya ke kampung Lam-lam, tidak jauh
jaraknya dari pulau Waigeo.
Dari keterangan penduduk dapat diketahui
bahwa Belanda telah menyerah. Hal ini sebagai tanda Herlina kembali ke tengah
kota.
Banyak orang menjadi keheranan setelah
melihat dirinya keluar dari hutan. Mereka tidak pernah menyangka ada pasukan
yang memiliki pejuang wanitanya. Sendirian pula.
Bahkan utusan PBB (UNTEA) juga sangat heran
setelah mengetahui ada satu-satunya wanita di antara pejuang RI. Heran, bahwa
pasukan pejuang di dalam hutan bisa bersama-sama wanita.
Di kota Sorong dan kemudian di kota Baru-lah,
Herlina menjadi inspirator bagi penduduk lokal. Ia kemudian menjalani misinya
untuk menarik hati penduduk lokal. Membuka pengertian mereka tentang artinya
negara Indonesia.
Kembali lagi Herlina menjadi seorang EO yang handal. Berbagai kegiatan yang
bersifat mengumpulkan massa dikerjakan olehnya.
Sambil menyampaikan kebenaran tentang
Indonesia Raya, untuk menggugah rasa nasionalisme masyarakat lokal.
Demikianlah yang dikerjakan Herlina, sehingga
Sumpah Pemuda diikrarkan oleh pemuda-pemudi Irian. Ini menjadi bagian penting
dari sejarah. Ikrar ini sebagai tanda jelas kembalinya Irian Barat ke pangkuan
Ibu Pertiwi.
Namun diatas semuanya ini, Herlina mengakui semua
perjuangannya dapat terjadi, karena mendapatkan dukungan dari rakyat Irian
Barat. Ia juga aktif dalam penyelenggaraan berdirinya Universitas Cenderawasih
di Kota Baru. Menjadi ketua penyelenggara pameran buku di Kota Baru selama tiga
hari berturut-turut.
Akhir dari semuanya, 13 Februari 1963,
Herlina turut menyaksikan apel besar sukarelawan Irian Barat di Istana Negara.
Herlina tidak kuasa menahan haru, ia meneteskan air-mata. Membayangkan
pedih-manisnya perjuangan di Irian Barat.
Presiden Soekarno kemudian menyematkan
Bintang Dharma Bhakti di dada sebelah kirinya. Selanjutnya pending (ikat
pinggang) yang terbuat dari emas, dikalungkan di lehernya.
Herlina kemudian menyerahkan kembali emas
setengah kilogram ini kepada Presiden Soekarno. Sebab ia mengingat pejuang-pejuang
lainnya yang telah cacat dan telah berjuang bersama-sama.
Bukan hanya itu saja, Herlina sangat
beruntung sebab menerima panggilan mengikuti pendidikan latihan Kowad. Sesuai
dengan Surat Keputusan Menteri Pangad.
Seiring dengan terbitnya buku karangannya
sendiri. Dengan judul Pending Emas. Namanya kemudian berubah, yang semula J.
Harlina menjadi J. Herlina.***(Disadur oleh: Kapten Sus Michiko; sekarang
menjabat sebagai Kasubsi Pustak Dinas Penerangan TNI AU;
Tidak ada komentar:
Posting Komentar