PANGKALAN TNI AU ISKANDAR
SAKSI EVAKUASI KORBAN AIR-ASIA QZ 8501
(Disadur
dari Buku: Sejarah Penerjunan Pasukan Payung di Kalimantan)
Pangkalan Udara Iskandar di
Kalimantan Tengah adalah salah satu saksi sejarah dilaksanakannya operasi
pencarian setelah jatuhnya pesawat penumpang Air-Asia QZ-8501. Tiba-tiba Pangkalan Udara yang tenang ini menjadi
hiruk-pikuk dengan kehadiran posko operasi SAR oleh BASARNAS, setelah dinyatakan
hilang pesawat QZ 8501 Air-Asia pada
28 Desember 2014 lalu.
Bencana terjadi, penderitaan
melanda. Indonesia telah cukup kenyang dengan berbagai peristiwa bencana
diakibatkan oleh kekuatan alam. Pengalaman bejibun menangani bencana telah
mendewasakan Indonesia di dalam menghadapi peristiwa jatuhnya ratusan korban
jiwa pada penerbangan QZ-8501.
Tiba-tiba dunia mengalihkan
perhatiannya ke Pulau Ketiga terbesar di dunia ini. Pangkalan Udara Iskandar di
Kalimantan ini menjadi tujuan beberapa negara di dunia yang menawarkan
bantuannya. Karena kemampuan mereka yang cepat untuk memobilisasi, militer
semakin memasuki peran nontradisional sebagai penanggap pertama atas bencana
buatan manusia maupun alam.
Nama Iskandar diambil dari putra
asli daerah Kalimantan yang berperan penuh bagi perjuangan kemerdekaan
Indonesia. Iskandar adalah salah satu pelopor penerjunan pasukan payung yang pertama
di Kalimantan Indonesia. Itu sebabnya namanya diabadikan sebagai nama pintu
gerbang daerah Kalimantan Tengah.
Kotawaringin Kalimantan Tengah juga memiliki
hubungan sejarah yang dekat dengan Kopasgat AURI (Komando Pasukan Gerak Tjepat)
yang sekarang ini dikenal dengan Pasukan Khas Angkatan Udara (Paskhasau). Ada
monumen pasukan peterjun di Kotawaringin saat perang mempertahankan kemerdekaan
Republik Indonesia.
Peristiwa penerjunan pasukan pada
tanggal 17 Oktober 1947 di daerah Kalimantan, pulau harapan yang sangat penting
dalam upaya mencapai cita-cita adil dan makmur Indonesia Merdeka, merupakan
bukti perjuangan para pelopor Penerjun Payung. Secara resmi hari dan tanggal
tersebut telah dijadikan hari jadi Komando Pasukan Gerak Tjepat/ Kopasgat AURI.
Cikal-bakal Pasukan Khas Angkatan Udara (Paskhasau).
Jika mengarahkan pandangan ke arah
langit nan biru yang ditaburi payung berwarna-warni dari para Peterjun, kita
akan sedemikian terpesona. Tidak pernah terbayangkan bagaimana menantangnya
kegiatan ini. Apalagi saat terjun di wilayah yang menunggu dengan cabang-cabang
pohon yang kekar. Serta tidak tahu pasti apa yang menanti dibawah sana, dalam
keadaan gelap-gulita. Disaat perang berkecamuk, ancaman kematian sudah menanti.
Ada kutipan ungkapan dari
Shakespeare: “Cowards die many times
before theirs deaths. The valiant never taste death but once”. Orang-orang
penakut merasakan kematian berkali-kali sebelum kematian yang sebenarnya. Orang
yang pemberani tidak pernah merasakannya kecuali hanya sekali yaitu pada waktu
ia mengalami kematian.
Pendaratan yang jauh dari yang
diharapkan. Mereka mendarat di tengah hutan belukar dengan pepohonan yang
tingginya hampir 40 meter dan memiliki batang pohon yang berdiameter 3 meter.
Sehingga semuanya tersangkut di rimbunan daun-daunan pohon “Empas”. Hanya
dengan cara menggunakan tali parasut yang disambung-sambungkan maka pasukan
peterjun ini dapat mencapai bagian pangkal pohon, dan kemudian menjejakkan
kakinya ke tanah.
Namun, masih ada yang jauh lebih
parah daripada mendarat di pohon raksasa. Bachri mendarat tepat masuk di
sela-sela rimbunan pohon bambu. Badannya terjepit diantara tiga batang pohon
bagaikan ikan yang masuk perangkap bambu. Tidak terbayangkan sakitnya, sangat
menyiksa.
Anggota-anggota peterjun ini
mendarat di sebuah kampung Sambi namanya. Kampung ini letaknya di tengah-tengah
hutan dan hampir tidak memiliki hubungan dengan dunia luar. Kampung inilah yang
terlihat dari pesawat dengan ladangnya yang mempunyai tonggak-tonggak besar
bekas tebangan pohon dan beberapa buah rumah panggung dicelah-celah hutan yang
membentang luas. Penduduknya terdiri dari 12 kepala keluarga, berdiam di
beberapa rumah yang didirikan di atas tiang-tiang setinggi dua sampai empat
meter. Kampung ini termasuk Suku Dayak Arut.
Sore itu sebanyak 11 orang dari 13
peterjun dapat berkumpul dalam keadaan selamat. Sangat membanggakan, sebab ini
pengalaman pertama dalam melakukan penerjunan. Keesokan harinya jumlah
keseluruhan 13 prajurit lengkap setelah bergabungnya dua orang terakhir.
Kemudian dengan gerak cepat logistik dikumpulkan. Sayangnya hanya beberapa
perlengkapan yang ditemukan sebab semuanya jatuh di hutan rimba yang belum
pernah dimasuki oleh manusia.
Sebelumnya, saat persiapan penerjunan sampai
dengan dilaksanakannya misi ini. Ada beberapa peristiwa penting yang perlu
dicermati. Perang Dunia ke-II menjadikan pulau terbesar ketiga didunia ini
menjadi aset yang sangat penting dalam memenangkan peperangan. Dengan menguasai
pulau yang terletak di sebelah utara Pulau Jawa dan di sebelah Barat Pulau
Sulawesi ini, maka Jepang maupun Sekutu berikhtiar menguasai seluruh Kepulauan
Indonesia. Pulau Borneo, nama yang dipakai oleh kolonial Inggris dan Belanda, dengan
luas 743.330 Km2 menjadi sumber logistik untuk membiayai perang. Tidak heran
Jepang maupun Sekutu berlomba-lomba untuk menguasai pulau Borneo.
Proklamasi 17 Agustus 1945 menjadi tonggak
bersejarah bagi bangsa Indonesia, namun berita menggembirakan ini hanya
sayup-sayup sampai di telinga masyarakat Kalimantan. Hal ini tidaklah
mengherankan sebab Jepang telah menyita semua alat komunikasi seperti radio.
Pada tanggal 10 Oktober 1945 diresmikkan berdirinya Pemerintah Republik
Indonesia Daerah dengan ibukotanya Banjarmasin oleh ribuan rakyat Kalimantan
sendiri.
Namun, Sekutu tidak mau mengakui keberadaan
pemerintah Republik Indonesia. Walaupun RI telah memproklamasikan
kemerdekaannya. Bahkan tidak ingin melihat Sang Merah Putih berkibar. Ini
sesuai dengan niat tentara Belanda yang diboncengi NICA untuk menguasai kembali
Indonesia, demikian pula ingin menduduki Kalimantan yang kaya dengan sumber
daya alamnya. Namun, rakyat melakukan perlawanan yang sengit, dikirimlah
ekspedisi-ekspedisi dari Jawa untuk merebut kembali Kalimantan dari cengkraman
penjajah Belanda yang semakin bercokol di pulau ‘Paru-paru Dunia’ ini.
Kebanyakan dari ekspedisi ini mengalami
kegagalan karena tidak adanya kesatuan komando, juga disebabkan oleh adanya
blokade laut yang dilakukan Belanda untuk menghambat infiltrasi pejuang
Indonesia yang berasal dari daerah lain masuk ke wilayah Kalimantan. Blokade
ini menghambat komunikasi dengan para pejuang yang berada di Kalimantan.
Adanya surat Gubernur Kalimantan kepada KSAU,
telah menjawab kegagalan infiltrasi selama ini. Demikian Ir. Pangeran Mohammad
Noor yang mendapat dukungan moral dari seluruh masyarakat suku Dayak, mengirim
surat kepada Kepala Staf Angkatan Udara Republik Indonesia yakni Komodor Udara
Suryadi Suryadarma. Berniat untuk menerjunkan pasukan payung di belantara
Kalimantan. Isi surat antara lain: “...untuk
usaha-usaha merebut Kalimantan menjadi daerah Republik Indonesia. Disamping
usaha lain yang kini dijalankan, dipandang perlu memulai pasukan payung
mengirim pemuda-pemuda yang berasal dari Kalimantan ke Kalimantan....”.
Permintaan Ir. Pangeran Mohammad Noor
dilanjutkan dengan pembicaraan serius dan akhirnya diputuskan untuk membentuk
Staf Khusus untuk pasukan payung Republik Indonesia dibawah Komando Panglima
Angkatan Udara. Berdasarkan perintah harian Panglima Besar Jenderal Soedirman
Nomor:232/PB/47/I, maka Komodor Udara Suryadi Suryadarma segera melakukan
persiapan untuk menerjunkan pasukan payung ke Kotawaringin Kalimantan Tengah.
Disamping itu diangkat pula Mayor Tjilik
Riwut yang asli Kalimantan sebagai Komando Pasukan dan duduk dalam staf
sekretaris bagian siasat perang KSAU. Mayor yang lahir dan dibesarkan di
Kalimantan ini telah berhasil membentuk kantong-kantong perlawanan di
Kalimantan Selatan.
Persiapan di Pangkalan Udara Maguwo,
pelatihan bagi para pemuda yang akan diterjunkan di Kalimantan. Digembleng ada
60 putra Kalimantan, 12 orang dari Sulawesi dan beberapa orang lagi dari Jawa,
Madura dan daerah lain. Dilatih oleh Opsir Udara I Sudjono. Hanya berbekal
peralatan sederhana, serba darurat, dilatih di darat saja (ground training). Parasut yang digunakan untuk latihan terjun
adalah parasut bekas serdadu Jepang. Latihan hanya dalam waktu sepekan, membuat
Tjilik Riwut kuatir.
Dalam pelatihan hanya menerima teori-teori
dan bagaimana cara tepat meloncat dari pesawat saat penerjunan. Bagaimana
melipat parasut dan dilatih pula terjun bebas dari menara. Tanpa rasa takut
para peserta latihan satu per-satu naik ke menara, kemudian menloncat
bergantian menggunakan alat yang terbuat dari kain blacu. Setelah latihan
dilakukan seleksi, yang terpilih semuanya adalah putra daerah kalimantan.
Mereka adalah Iskandar dan Dachlan putra
daerah Sampit; J. Bitak dari Kelapa Baru; C. Willems dari Kuala Kapuas; J.
Darius dari Kasungan; Achmad Kosasih dari Makuhulu; Bachri dari Barabai; Ali
Akbar dan Djarni dari Balikpapan; M. Amiruddin dan Emanuel dari Kahajanhulu;
serta Morawi dari Rataupulut. Semuanya menguasai bahasa daerah Dayak Kahajan
dengan mahir disamping keterampilan lainnya.
Misi penerjunan ini adalah untuk membawa alat
pemancar (Z/O) yang besar dan lengkap dengan motor dan bahan bakar untuk
penggunaan setahun. Selaku pemancar induk sehingga akan berkomunikasi dengan
pemancar induk yang ada di Sumatera dan Jawa juga pemancar-pemancar kecil di
Kalimantan. Diharapkan ini merupakan dinamisator perjuangan di Kalimantan
dikoordinasikan dengan perjuangan di Jawa dan Sumatera. Perjuangan ini pada
dasarnya untuk memperkuat perjuangan dan untuk membentuk jaringan perjuangan
yang terbesar di Kalimantan.
Pada tanggal 16 Oktober 1947, pukul 23.00 WIB
awak pesawat Dakota C-47 meninggalkan Hotel Tugu menuju Pangkalan Udara Maguwo
untuk bersiap melaksanakan operasi. Meskipun rasa kantuk masih bergelayut namun
mereka harus cepat tiba di pangkalan udara untuk melakukan pengecekan terakhir.
Pukul 01.30 WIB tanggal 17 Oktober 1947 pesawat
udara telah siap, terdengar amanat KSAU Komodor Udara Suryadi Suryadarma,
memberikan petunjuk dan menutup amanatnya dengan sebuah ucapan “Selamat Jalan
dan selamat berjuang!”.
Pesawat C-47 Dakota RI-002 diterbangkan oleh
pemiliknya yang berkebangsaan Amerika yakni Robert Earl Freberg. Bertugas
sebagai Co-Pilot Opsir Udara III Makmur Suhodo, penunjuk arah Mayor Tjilik
Riwut, dan Jumping Master Opsir Muda Udara III Amir Hamzah. Take-off dari
Lapangan Terbang Maguwo Yogyakarta tepat pukul 02.30 WIB, lalu membelok ke
utara terus menuju ke “Heading” 31
derajat.
Suasana dalam pesawat hening, semuanya mengikuti
alur pikirannya masing-masing. Pagi pukul 05.30, fajar menyingsing, pesawat
semakin terbang rendah. Pada pukul 07.00 pesawat telah melayang-layang di atas
deretan bukit-bukit, terlihat ladang dan beberapa buah rumah.
Ketika bel berbunyi tiga kali dan lampu merah
di dekat pintu mulai menyala Jumping Master Amir hamzah berdiri dan memberi
instruksi serta memeriksa peterjun satu demi satu. Kemudian ia berdiri di depan
pintu untuk melihat sejenak ke bawah. Pesawat memutar satu kali untuk memeriksa
keadaan serta arah angin. Setelah posisi cukup baik, isyarat dengan bel dua
kali , isyarat untuk berbaris di depan pintu yang sudah dalam keadaan terbuka.
Bel ketiga kali berbunyi berarti dropping dan jumping di mulai. Pertama kali
keluar adalah logistik, kemudian disusul oleh J. Bitak sebagai orang pertama
terjun dan bertugas mengawal bendera Sang Merah Putih.
Setelah itu bergantian drooping perlengkapan.
Dachlan terkait di pintu sehingga sulit untuk meloncat keluar badan pesawat.
Untung saja, dapat segera diketahui dan ditolong, sehingga dapat terjun dengan
selamat. Djarni mengalami shock berat sehingga tidak jadi terjun. Wajahnya
pucat seputih kapas, tubuhnya gemetar dan keringat dingin mengucur deras.
Dengan pertimbangan yang bijak, Djarni tidak jadi diterjunkan.
Tujuan utama dilaksanakannya operasi
penerjunan pasukan payung di Kotawaringin Kalimantan ini adalah untuk menjalin
hubungan komunikasi radio antara Kalimantan dan Yogyakarta sebagai Ibukota
Negara Indonesia. Di dalam perjuangan merebut kemerdekaan Indonesia.
Namun, misi pengiriman pasukan payung ini
diketahui oleh pihak penjajah Belanda. Mereka disergap, diserang dan ditangkap;
sehingga misi penyusupan ini gagal. Namun, peristiwa ini membawa dampak yang
sangat besar bagi pihak musuh dan juga bagi para pejuang itu sendiri.
Penyusupan pasukan payung ini menjadi bukti
yang kuat bahwa perjuangan rakyat Indonesia untuk lepas dari penjajahan bangsa
asing tetaplah nyata. Walaupun merupakan suatu hal yang mustahil, namun
penerjunan ini telah membuka mata dunia Internasional, bahwa Indonesia ada dan
berdaulat, dan Kalimantan adalah bagian yang terintegrasi dengan Indonesia.
Bagi para pejuang, hal ini merupakan dorongan moril untuk tetap berjuang
mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Perjuangan dan kesediaan mereka untuk
berkorban jiwa dan raga merupakan nilai-nilai kejuangan yang patut diteladani
oleh generasi muda sekarang ini. Para pelopor penerjun payung sama sekali tidak
mempedulikan akan peralatan yang sangat sederhana. Bahaya tidak dihiraukan oleh
mereka, untuk membebaskan Kampung Halaman-nya dari Belanda yang ingin kembali
bercokol.
Dalam serba penuh keterbatasan, hanya latihan
di darat, mereka bertekad untuk terjun dari udara dengan menggunakan pesawat
terbang yang usianya se-uzur keadaan payung yang digunakan. Caranya pun jauh
dari standar keselamatan, sangat sederhana, hanya dengan meloncat keluar dari
kokpit pesawat yang memang sudah terbuka. Bahkan ada yang harus merayap dulu
baru meloncat dan mengembangkan payung. Namun apa yang terjadi pada tanggal 17
Oktober 1947 ini menjadi sejarah operasi penerjunan pasukan dari udara untuk
pertama kali di Indonesia dan yang paling lengkap, sebab diikuti dengan
dropping logistik.
Kisah penerjunan 17 Oktober 1947 adalah
gambaran nyata kebesaran jiwa Putra Bangsa, dengan sinar kebesaran jiwa
proklamasi yang menyala di dada para pelopor perjuangan bangsa. Old Soldier Never Dies, Les Fade Away. (Captain
Michiko).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar