SEJARAH PANGKALAN TNI
AU DUMATUBUN
DI TUAL MALUKU
TENGGARA
(Disadur dari buku: Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan
Perang
Dunia II membuktikan kekuatan pasukan Jepang yang telah menyapu bersih wilayah
pasifik. Satu persatu wilayah Asia Tenggara dikuasai oleh Jepang. Pada 12 Juli
1942 pasukan Jepang mendarat di pulau Dullah dan pulau Kei Kecil yang berada di
kawasan Tenggara Maluku.
Menurut perkiraan intelijen Jepang, kedua pulau ini bernilai strategis bagi kepentingan perang negeri Matahari Terbit. Sehingga, pembangunan landasan udara secara cepat dilakukan dengan mengerahkan tenaga Romusha, yakni tenaga rakyat setempat.
Ambisius bangsa Jepang untuk menguasai dunia telah melahirkan beberapa lapangan terbang yang tersebar di kepulauan Kei. Yaitu, lapangan terbang yang terletak di antara desa Langgur dan desa Kolser di pulau Kei Kecil. Kedua, lapangan terbang di desa Faan di pulau Kei Kecil. Ketiga, lapangan terbang Letfuan, terletak di antara desa Letfuan dan desa Ngabub di pulau Kei Kecil. Keempat adalah lapangan terbang yang terletak di pulau Dullah Laut.
Pembangunan lapangan terbang ini telah membuktikan kekuatan dan kemampuan pesawat terbang di dalam memenangkan pertempuran apapun, baik di laut maupun di daratan.
Namun, peristiwa pembalasan yang dilancarkan oleh Sekutu yang dimotori oleh Amerika Serikat telah melumpuhkan Jepang. Perlahan namun pasti, keadaan mulai berubah. Dimana-mana tempat, Jepang mengalami kekalahan yang memalukan. Terutama dengan adanya pemboman secara besar-besaran melalui udara oleh pesawat pembom Amerika, sehingga Jepang bertekuk-lutut dan menyerah.
Peristiwa kekalahan ini didengar dan disambut secara luar-biasa oleh pemuda pejuang Indonesia. Perjuangan Indonesia untuk merdeka dan lepas dari penjajahan bangsa asing seperti memperoleh siraman minyak. Seluruh wilayah Indonesia bersatu-padu untuk menyatukan tekad kemerdekaan Indonesia. Pada 17 Agustus 1945, Indonesia menyatakan kemerdekaannya dan Jepang angkat kaki dari seluruh wilayah Indonesia.
Setahun kemudian Angkatan Udara Republik Indonesia dikukuhkan pada 9 April 1946, dan pangkalan udara yang tetap aktif digunakan di propinsi Maluku adalah Pangkalan Udara Laha yang terletak di kota Ambon.
Sejarah terus bergulir dan perkembangan Pangkalan TNI AU Dumatubun ini dibagi dalam beberapa era. Periode tahun 1951 sampai dengan 1955, adalah awal berdirinya Perwakilan Kesatuan Penghubung Udara Langgur. Serta periode 1955 sampai dengan 1959, masa pembangunan selanjutnya.
Menurut catatan sejarah, pada akhir tahun 1951, yaitu pada bulan Desember. AURI mengadakan kunjungan kerja ke Maluku Tenggara. Dalam hal ini diwakili oleh Kapten Udara Noerzain dari Jakarta. Bertemu dengan pemerintah daerah setempat untuk menjajaki kemungkinan ditempatkannya perwakilan AURI di kabupaten Maluku Tenggara.
Kepala Desa Langgur sangat kooperatif, koordinasi lebih lanjut diadakan. Kemudian dilakukan peninjauan ke semua lapangan terbang bekas pendudukan Jepang, yang berada di kepulauan Kei Kecil.
Lapangan terbang yang terletak di antara desa Langgur dan desa Kolser menjadi pilihan, dengan mempertimbangkan jarak yang terbentang antara kota Tual dan desa Langgur, yang hanya berjarak 3,5 Km. Hal ini dikuatkan oleh hasil wawancara dengan Nico Dumatubun.
Hasil peninjauan ini ditindaklanjuti oleh pimpinan AURI dengan memperbaiki dan memfasilitasi lapangan terbang yang bernilai sejarah tinggi ini. Segera pada Januari 1952, sebulan setelah itu, pimpinan AURI berkoordinasi dengan pimpinan Angkatan Darat, maka perlengkapan berat milik Zeni Angkatan Darat mulai bekerja di Tual.
Saat perbaikan, Kapolri yang saat itu dijabat oleh Kombes Polisi Drs. Sukamto, mengadakan kunjungan ke kota Tual. Rencananya pesawat Catalina yang ditumpanginya akan mendarat di laut, namun ketangguhan dan kesiapan lapangan udara ini telah memungkinkan pesawat mendarat di jalur landasannya.
Menurut perkiraan intelijen Jepang, kedua pulau ini bernilai strategis bagi kepentingan perang negeri Matahari Terbit. Sehingga, pembangunan landasan udara secara cepat dilakukan dengan mengerahkan tenaga Romusha, yakni tenaga rakyat setempat.
Ambisius bangsa Jepang untuk menguasai dunia telah melahirkan beberapa lapangan terbang yang tersebar di kepulauan Kei. Yaitu, lapangan terbang yang terletak di antara desa Langgur dan desa Kolser di pulau Kei Kecil. Kedua, lapangan terbang di desa Faan di pulau Kei Kecil. Ketiga, lapangan terbang Letfuan, terletak di antara desa Letfuan dan desa Ngabub di pulau Kei Kecil. Keempat adalah lapangan terbang yang terletak di pulau Dullah Laut.
Pembangunan lapangan terbang ini telah membuktikan kekuatan dan kemampuan pesawat terbang di dalam memenangkan pertempuran apapun, baik di laut maupun di daratan.
Namun, peristiwa pembalasan yang dilancarkan oleh Sekutu yang dimotori oleh Amerika Serikat telah melumpuhkan Jepang. Perlahan namun pasti, keadaan mulai berubah. Dimana-mana tempat, Jepang mengalami kekalahan yang memalukan. Terutama dengan adanya pemboman secara besar-besaran melalui udara oleh pesawat pembom Amerika, sehingga Jepang bertekuk-lutut dan menyerah.
Peristiwa kekalahan ini didengar dan disambut secara luar-biasa oleh pemuda pejuang Indonesia. Perjuangan Indonesia untuk merdeka dan lepas dari penjajahan bangsa asing seperti memperoleh siraman minyak. Seluruh wilayah Indonesia bersatu-padu untuk menyatukan tekad kemerdekaan Indonesia. Pada 17 Agustus 1945, Indonesia menyatakan kemerdekaannya dan Jepang angkat kaki dari seluruh wilayah Indonesia.
Setahun kemudian Angkatan Udara Republik Indonesia dikukuhkan pada 9 April 1946, dan pangkalan udara yang tetap aktif digunakan di propinsi Maluku adalah Pangkalan Udara Laha yang terletak di kota Ambon.
Sejarah terus bergulir dan perkembangan Pangkalan TNI AU Dumatubun ini dibagi dalam beberapa era. Periode tahun 1951 sampai dengan 1955, adalah awal berdirinya Perwakilan Kesatuan Penghubung Udara Langgur. Serta periode 1955 sampai dengan 1959, masa pembangunan selanjutnya.
Menurut catatan sejarah, pada akhir tahun 1951, yaitu pada bulan Desember. AURI mengadakan kunjungan kerja ke Maluku Tenggara. Dalam hal ini diwakili oleh Kapten Udara Noerzain dari Jakarta. Bertemu dengan pemerintah daerah setempat untuk menjajaki kemungkinan ditempatkannya perwakilan AURI di kabupaten Maluku Tenggara.
Kepala Desa Langgur sangat kooperatif, koordinasi lebih lanjut diadakan. Kemudian dilakukan peninjauan ke semua lapangan terbang bekas pendudukan Jepang, yang berada di kepulauan Kei Kecil.
Lapangan terbang yang terletak di antara desa Langgur dan desa Kolser menjadi pilihan, dengan mempertimbangkan jarak yang terbentang antara kota Tual dan desa Langgur, yang hanya berjarak 3,5 Km. Hal ini dikuatkan oleh hasil wawancara dengan Nico Dumatubun.
Hasil peninjauan ini ditindaklanjuti oleh pimpinan AURI dengan memperbaiki dan memfasilitasi lapangan terbang yang bernilai sejarah tinggi ini. Segera pada Januari 1952, sebulan setelah itu, pimpinan AURI berkoordinasi dengan pimpinan Angkatan Darat, maka perlengkapan berat milik Zeni Angkatan Darat mulai bekerja di Tual.
Saat perbaikan, Kapolri yang saat itu dijabat oleh Kombes Polisi Drs. Sukamto, mengadakan kunjungan ke kota Tual. Rencananya pesawat Catalina yang ditumpanginya akan mendarat di laut, namun ketangguhan dan kesiapan lapangan udara ini telah memungkinkan pesawat mendarat di jalur landasannya.
Dapat
dibayangkan betapa bernilainya lapangan terbang ini, sebab telah mengorbankan
begitu banyak nyawa anak negeri sendiri. Pekerjaan pembangunan ini tentunya
tidak semudah dikira orang. Penjajahan Jepang di bumi Indonesia walaupun
singkat tetapi menggoreskan luka yang sangat dalam.
Pengerahan tenaga manusia tanpa kompromi, besar-kecil, tua-muda, untuk memenuhi ambisi bangsa Jepang. Sebab itu, lapangan udara ini menjadi aset yang tak terhingga bagi masyarakat Maluku Tenggara. Ada banyak darah, air-mata yang telah tertumpah di lapangan udara ini.
Setelah selesai dibangun, maka secara geografis 05.40’ LS dan 132.43’ BT (05.40 S – 132.43 E) ditetapkan sebagai titik koordinat lapangan udara Langgur di Pulau Kei Kecil. Panjang landasan pacu dari Timur ke Barat 1500 meter. Lebar dari Utara ke Selatan 30 meter. Dengan bahu landasan (shoulder) 60 meter ke sisi utara dan selatan landasan pacu.
Selesai pembangunan pada Maret 1952, ditetapkan lapangan terbang Langgur dibawah pengawasan Perwakilan Kesatuan Penghubung Udara Langgur yang dipimpin oleh Letnan Muda Udara II (LMUII) Sukardi. Perwakilan Kesatuan Penghubung Udara selanjutnya mengalami perubahan menjadi Detasemen Angkatan Udara Langgur.
Selanjutnya, pada Juli 1954 Kasau Laksamana Muda Udara S. Surjadarma mendarat di Langgur dengan pesawat C-47 Dakota yang dikawal oleh pesawat pembom B-25 dalam rangka inspeksi ke lapangan terbang di wilayah Maluku. Inspeksi ini menghasilkan laporan yang memuaskan, bahwa landasan peninggalan pendudukan Jepang dapat didarati oleh pesawat berbadan besar.
Selain itu, Kepala Perwakilan Kesatuan Penghubung Udara Langgur mengalami beberapa pergantian pejabat. Demikian pula adanya perubahan sebutan Kesatuan Penghubung Udara Langgur menjadi Detasemen Angkatan Udara Langgur dibawah pimpinan LMU II J.N Annakotta pada tahun 1957.
Peristiwa Trikora menjadikan lapangan terbang yang berada di Kepulauan Kei Kecil Maluku Tenggara, menjadi sangat strategis. Berdasarkan kebijakan Presiden Soekarno, dilakukanlah mobilisasi secara umum untuk mengembalikan Irian Barat ke pangkuan NKRI. Sebab itu, AURI berunding dengan Pemangku Adat Negeri Letfuan untuk mengaktifkan kembali lapangan udara Letfuan, yang berjarak delapan belas kilometer dari Detasemen Angkatan Udara Langgur.
Lapangan terbang Letfuan mengandung cerita antik yang bersejarah. Sebab dengan adanya peristiwa Trikora, masyarakat di Kepulauan Kei Kecil sebanyak tiga ribu orang, bersama-sama (istilah bahasa daerah setempat: maren, yang artinya bergotong-royong) membuka kembali lapangan terbang yang telah empat belas tahun menjadi lahan yang ditutupi oleh semak duri yang tebal dan menutupi semua area lapangan udara.
Lapangan terbang Letfuan ini berjarak delapan belas kilometer dari Detasemen Angkatan Udara Langgur. Jadi, Detasemen Angkatan Udara Letfuan baru dibuka dan diperbaiki pada tahun 1959 dan mulai beroperasi kembali dua tahun berikutnya. Pada 1963 Menpangau Laksamana Muda Udara Omar Dani, menetapkan Pangkalan Detasemen Angkatan Udara Langgur/ Letfuan berada di bawah pengawasan Komando Regional Udara (KORUD) IV. Namun saat ini dibawah kendali operasi Komando Operasi TNI Angkatan Udara (KOOPSAU) II, yang berkedudukan di Makassar.
Seperti yang telah diungkapkan bahwa lapangan terbang Langgur dan Letfuan mengandung cerita suka-duka yang menarik untuk disimak. Sejarah pembangunannya yang diawali dengan romusha tentu saja memiliki kisah-kisah menarik yang dituturkan dari generasi ke generasi.
Selanjutnya, lapangan udara ini menjadi sedemikian sibuk dan penting sebab adanya upaya pemerintah Indonesia yang masih muda belia, bertekad mengembalikan Papua Barat ke pangkuan Ibu Pertiwi.
Kembali, masyarakat Kepulauan Kei Kecil merasakan suatu kehormatan dapat menjadi ujung tombak perjuangan bangsa Indonesia di wilayah timur Indonesia. Masyarakat Kepulauan Kei Kecil merasa senasib sepenanggungan dengan keluarganya yang ada di Papua. Sama-sama merindukan kemerdekaan dan kebebasan menentukan nasib hidupnya sendiri dan tidak sudi hidup lagi dibawah penjajahan bangsa asing.
Lapangan udara Langgur dan Letfuan merupakan saksi sejarah bagaimana masyarakat pulau Kei Kecil berjuang. Dan penempatan berbagai jenis pesawat di lapangan udara Langgur/ Letfuan merupakan kebijakan strategis pimpinan AURI sebagai kesiapsiagaan menghadapi konflik. Seperti, pesawat pemburu P-51 Mustang, pesawat pembom B-25, pesawat Amphibi PBY-Catalina dan UF-Albatros. Semuanya saat ini menjadi museum dan saksi sejarah yang ril tentang ketangguhan TNI AU pada masa awal kemerdekaan Indonesia.
Dengan adanya pengoperasian kembali lapangan terbang ini, maka diadakanlah perpanjangan landasan pacu yang selesai pada tahun 1962. Tidak hanya sampai disini, selanjutnya AURI menempatkan radar yang berfungsi sebagai GCI dan EWS.
Sebagai ‘Daerah Depan’ Lapangan Terbang Letfuan dan Langgur telah mensukseskan beberapa operasi penting yaitu operasi Trikora, Operasi Jatayu, dan Operasi Jayawijaya.
Sebelum operasi Jayawijaya dilaksanakan, Presiden Soekarno mengeluarkan perintah penghentian tembak-menembak dan permusuhan pada 16 Agustus 1962. Melalui meja perundingan, akhirnya kekuasaan Papua Barat diserahkan oleh Pemerintah Sementara UNTEA kepada pemerintah Republik Indonesia pada 1 Mei 1963.
Wilayah Papua Barat resmi kembali ke Negara Kesatuan Republik Indonesia, dengan demikian berakhir pulalah operasi Trikora. Selanjutnya pasukan dan pesawat militer AURI secara bertahap kembali ke home base masing-masing.
Demikianlah, terukir sejarah yang hebat tentang lapangan terbang Langgur/ Letfuan. Sejak berdirinya Kabupaten Maluku Tenggara tahun 1951, sejarah telah mencatat Letnan Dua Dominicus Dumatubun merupakan satu-satunya putera daerah Maluku Tenggara yang berhasil menjadi Penerbang lulusan AAU. Walaupun akhirnya gugur sebagai kusuma bangsa sebab meninggal saat melaksanakan tugas terbang malam pada tahun 1960.
Tahun 1969 ada permintaan resmi dari DPRD Kab. Maluku Tenggara untuk penggunaan nama Dominicus Dumatubun sebagai nama Pangkalan Angkatan Udara Letfuan/ Langgur. Hal ini ditindaklanjuti dengan adanya keputusan penetapan perubahan nama Pangkalan Udara Letfuan menjadi Pangkalan Udara Dominicus Dumatubun.
Dewasa ini, Pangkalan TNI AU Dumatubun memiliki ukuran landasan pacu 1.300 x 30 meter. Rencananya akan diperlebar dan memiliki permukaan beton untuk didarati oleh pesawat berbadan lebar.
Pengerahan tenaga manusia tanpa kompromi, besar-kecil, tua-muda, untuk memenuhi ambisi bangsa Jepang. Sebab itu, lapangan udara ini menjadi aset yang tak terhingga bagi masyarakat Maluku Tenggara. Ada banyak darah, air-mata yang telah tertumpah di lapangan udara ini.
Setelah selesai dibangun, maka secara geografis 05.40’ LS dan 132.43’ BT (05.40 S – 132.43 E) ditetapkan sebagai titik koordinat lapangan udara Langgur di Pulau Kei Kecil. Panjang landasan pacu dari Timur ke Barat 1500 meter. Lebar dari Utara ke Selatan 30 meter. Dengan bahu landasan (shoulder) 60 meter ke sisi utara dan selatan landasan pacu.
Selesai pembangunan pada Maret 1952, ditetapkan lapangan terbang Langgur dibawah pengawasan Perwakilan Kesatuan Penghubung Udara Langgur yang dipimpin oleh Letnan Muda Udara II (LMUII) Sukardi. Perwakilan Kesatuan Penghubung Udara selanjutnya mengalami perubahan menjadi Detasemen Angkatan Udara Langgur.
Selanjutnya, pada Juli 1954 Kasau Laksamana Muda Udara S. Surjadarma mendarat di Langgur dengan pesawat C-47 Dakota yang dikawal oleh pesawat pembom B-25 dalam rangka inspeksi ke lapangan terbang di wilayah Maluku. Inspeksi ini menghasilkan laporan yang memuaskan, bahwa landasan peninggalan pendudukan Jepang dapat didarati oleh pesawat berbadan besar.
Selain itu, Kepala Perwakilan Kesatuan Penghubung Udara Langgur mengalami beberapa pergantian pejabat. Demikian pula adanya perubahan sebutan Kesatuan Penghubung Udara Langgur menjadi Detasemen Angkatan Udara Langgur dibawah pimpinan LMU II J.N Annakotta pada tahun 1957.
Peristiwa Trikora menjadikan lapangan terbang yang berada di Kepulauan Kei Kecil Maluku Tenggara, menjadi sangat strategis. Berdasarkan kebijakan Presiden Soekarno, dilakukanlah mobilisasi secara umum untuk mengembalikan Irian Barat ke pangkuan NKRI. Sebab itu, AURI berunding dengan Pemangku Adat Negeri Letfuan untuk mengaktifkan kembali lapangan udara Letfuan, yang berjarak delapan belas kilometer dari Detasemen Angkatan Udara Langgur.
Lapangan terbang Letfuan mengandung cerita antik yang bersejarah. Sebab dengan adanya peristiwa Trikora, masyarakat di Kepulauan Kei Kecil sebanyak tiga ribu orang, bersama-sama (istilah bahasa daerah setempat: maren, yang artinya bergotong-royong) membuka kembali lapangan terbang yang telah empat belas tahun menjadi lahan yang ditutupi oleh semak duri yang tebal dan menutupi semua area lapangan udara.
Lapangan terbang Letfuan ini berjarak delapan belas kilometer dari Detasemen Angkatan Udara Langgur. Jadi, Detasemen Angkatan Udara Letfuan baru dibuka dan diperbaiki pada tahun 1959 dan mulai beroperasi kembali dua tahun berikutnya. Pada 1963 Menpangau Laksamana Muda Udara Omar Dani, menetapkan Pangkalan Detasemen Angkatan Udara Langgur/ Letfuan berada di bawah pengawasan Komando Regional Udara (KORUD) IV. Namun saat ini dibawah kendali operasi Komando Operasi TNI Angkatan Udara (KOOPSAU) II, yang berkedudukan di Makassar.
Seperti yang telah diungkapkan bahwa lapangan terbang Langgur dan Letfuan mengandung cerita suka-duka yang menarik untuk disimak. Sejarah pembangunannya yang diawali dengan romusha tentu saja memiliki kisah-kisah menarik yang dituturkan dari generasi ke generasi.
Selanjutnya, lapangan udara ini menjadi sedemikian sibuk dan penting sebab adanya upaya pemerintah Indonesia yang masih muda belia, bertekad mengembalikan Papua Barat ke pangkuan Ibu Pertiwi.
Kembali, masyarakat Kepulauan Kei Kecil merasakan suatu kehormatan dapat menjadi ujung tombak perjuangan bangsa Indonesia di wilayah timur Indonesia. Masyarakat Kepulauan Kei Kecil merasa senasib sepenanggungan dengan keluarganya yang ada di Papua. Sama-sama merindukan kemerdekaan dan kebebasan menentukan nasib hidupnya sendiri dan tidak sudi hidup lagi dibawah penjajahan bangsa asing.
Lapangan udara Langgur dan Letfuan merupakan saksi sejarah bagaimana masyarakat pulau Kei Kecil berjuang. Dan penempatan berbagai jenis pesawat di lapangan udara Langgur/ Letfuan merupakan kebijakan strategis pimpinan AURI sebagai kesiapsiagaan menghadapi konflik. Seperti, pesawat pemburu P-51 Mustang, pesawat pembom B-25, pesawat Amphibi PBY-Catalina dan UF-Albatros. Semuanya saat ini menjadi museum dan saksi sejarah yang ril tentang ketangguhan TNI AU pada masa awal kemerdekaan Indonesia.
Dengan adanya pengoperasian kembali lapangan terbang ini, maka diadakanlah perpanjangan landasan pacu yang selesai pada tahun 1962. Tidak hanya sampai disini, selanjutnya AURI menempatkan radar yang berfungsi sebagai GCI dan EWS.
Sebagai ‘Daerah Depan’ Lapangan Terbang Letfuan dan Langgur telah mensukseskan beberapa operasi penting yaitu operasi Trikora, Operasi Jatayu, dan Operasi Jayawijaya.
Sebelum operasi Jayawijaya dilaksanakan, Presiden Soekarno mengeluarkan perintah penghentian tembak-menembak dan permusuhan pada 16 Agustus 1962. Melalui meja perundingan, akhirnya kekuasaan Papua Barat diserahkan oleh Pemerintah Sementara UNTEA kepada pemerintah Republik Indonesia pada 1 Mei 1963.
Wilayah Papua Barat resmi kembali ke Negara Kesatuan Republik Indonesia, dengan demikian berakhir pulalah operasi Trikora. Selanjutnya pasukan dan pesawat militer AURI secara bertahap kembali ke home base masing-masing.
Demikianlah, terukir sejarah yang hebat tentang lapangan terbang Langgur/ Letfuan. Sejak berdirinya Kabupaten Maluku Tenggara tahun 1951, sejarah telah mencatat Letnan Dua Dominicus Dumatubun merupakan satu-satunya putera daerah Maluku Tenggara yang berhasil menjadi Penerbang lulusan AAU. Walaupun akhirnya gugur sebagai kusuma bangsa sebab meninggal saat melaksanakan tugas terbang malam pada tahun 1960.
Tahun 1969 ada permintaan resmi dari DPRD Kab. Maluku Tenggara untuk penggunaan nama Dominicus Dumatubun sebagai nama Pangkalan Angkatan Udara Letfuan/ Langgur. Hal ini ditindaklanjuti dengan adanya keputusan penetapan perubahan nama Pangkalan Udara Letfuan menjadi Pangkalan Udara Dominicus Dumatubun.
Dewasa ini, Pangkalan TNI AU Dumatubun memiliki ukuran landasan pacu 1.300 x 30 meter. Rencananya akan diperlebar dan memiliki permukaan beton untuk didarati oleh pesawat berbadan lebar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar